Polemik Larangan Ekspor Batu Bara, Ekonom Setuju: Jadi Teguran bagi Penambang Batu Bara
Perdebatan mengenai larangan ekspor batu bara yang resmi diterapkan oleh pemerintah, melalui Kementerian ESDM, per tanggal 1 Januari 2022 hinga 31 Januari 2022 ramai dibicarakan oleh berbagai pihak. Sebagian menolak kebijakan ini, khususnya dari kelompok pelaku usaha. Di sisi lain, sebagian mendukung kebijakan yang mendorong penyerapan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri ini.
Salah satu pihak yang menyetujui pelarangan ini adalah Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah. Ia menilai larangan ekspor batu bara merupakan kebijakan yang memang harus diambil oleh pemerintah.
Baca Juga: Suplai Batu Bara Kurang, Erick: Harus Gotong Royong Hadapi Krisis Energi
"Karena itu dipicu oleh ketidakpatuhan eksportir, para penambang, memenuhi kewajibannya untuk DMO (Domestic Market Obligation), memenuhi kebutuhan dalam negeri," ujar Piter saat dihubungi Warta Ekonomi, Selasa (4/1/2022).
Piter berpendapat, kebijakan ini berperan sebagai teguran kepada para penambang batu bara untuk memprioritaskan kebutuhan dalam negeri. Perusahaan penambang batu bara, katanya, memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan perekonomian nasional.
"Mereka memiliki kewajiban agar kebutuhan batu bara dalam negeri itu terpenuhi. Jadi, jangan ketika menguntungkan lalu kebutuhan dalam negeri ditinggalkan. Nasionalismenya harus ada. Mereka sudah cukup mendapatkan keuntungan yang luar biasa dengan kenaikan harga batu bara, itu nikmati. Namun, bukan dengan cara meninggalkan kebutuhan dalam negeri," tandasnya.
Dalam hal ini, para penambang batu bara perlu membantu memenuhi kebutuhan PLN yang memiliki ketersediaan batu bara terbatas di PLTU grup PLN.
Piter menjelaskan, meskipun larangan ekspor batu bara akan berdampak pada pendapatan negara, kerugian akan lebih besar apabila PLN tidak mampu membangkitkan listrik karena tidak memiliki pasokan batu bara yang memadai.
"Coba bayangkan kalau diizinkan ekspor, artinya PLN itu tidak bisa membangkitkan listrik batu bara, artinya harus impor. Apa ceritanya kita [Indonesia] ekspor, sementara PLN impor? Jadi, kerugiannya besar. PLN yang akan mengalami kerugian besar," terangnya.
Sementara, lanjut Piter, kerugian yang dialami PLN pada akhirnya akan dibebankan kepada pemerintah dan negara, yang berujung juga melibatkan rakyat. "Jadi, ini adalah yang terbaik. Sekali lagi perlu dicatat, ini bukanlah kebijakan selamanya. Ini kebijakan yang diambil singkat, hanya satu bulan, dan merupakan teguran para penambang yang memiliki kewajiban untuk memenuhi pasar dalam negeri," jelasnya.
Di sisi lain, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda mengatakan, pemerintah juga perlu memperhatikan kemampuan PLN dalam mengelola batu bara yang dilarang untuk diekspor. Jangan sampai negara mengalami kerugian yang lebih besar lantaran PLN tidak dapat menyerap batu bara yang seharusnya diekspor, ungkapnya.
Kendati demikian, Huda melihat kebijakan pemerintah atas larangan ekspor batu bara ini cukup kontradiktif dengan kebijakan larangan pembangunan PLTU baru yang juga berasal dari pemerintah.
"Itu kan kebijakan yang saling bertubrukan. Di satu sisi PLN disuruh menyerap batu bara, tapi sisi lain PLN jangan bangun PLTU lagi. Namun, dari sisi lingkungan itu bagus, tapi bagi pengusaha itu bencana," tutur Huda.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Imamatul Silfia
Editor: Puri Mei Setyaningrum