Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Memahami Invasi Rusia ke Ukraina, Apa Target Putin Sebenarnya?

Memahami Invasi Rusia ke Ukraina, Apa Target Putin Sebenarnya? Potongan catur terlihat di depan bendera Rusia dan Ukraina yang dipajang dalam ilustrasi ini diambil 25 Januari 2022. | Kredit Foto: Reuters/Dado Ruvic
Warta Ekonomi, Moskow -

Serangan Rusia ke Ukraina hingga kini terus berlangsung. Pasukan Rusia menyasar objek-objek militer di seluruh wilayah Ukraina.

Peristiwa itu menyulut kepanikan dunia. Serangan yang berlangsung sejak Kamis (24/2/2022) pagi mendapat reaksi keras masyarakat internasional.

Baca Juga: Kesuksesan Uji Coba Rudal Hipersonik Militer Amerika Bikin Rusia Ketar-ketir?

Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi menyikapi tindakan Rusia tersebut. Aksi Rusia itu menimbulkan pertanyaan berbagai kalangan.

Kenapa Rusia melakukan serangan ke negara tetangga sebelah barat mereka itu, negara yang selama kurun waktu yang lama berada dalam satu ‘rumah’ yang sama baik di era kekaisaran maupun era Uni Soviet?

Kenapa Rusia seakan mengabaikan norma-norma internasional, melakukan tindakan sepihak menyerang negara sebuah negara berdaulat?

Menurut Ahmad Fahrurodji, doktor ilmu sejarah, pemerhati Rusia dan Eropa Timur Universitas Indonesia (UI), serangan itu karena motif geopolitik.

“Pasti ada alasan yang sangat kuat bagi pemimpin Rusia itu dalam mengambil keputusan yang mempertaruhkan masa depan Rusia akan kemungkinan Rusia terancam dikucilkan dalam masyarakat internasional dan sanksi ekonomi yang lebih keras yang ditujukan untuk mempersempit gerak Rusia dalam percaturan internasional,” kata Ahmad Fahrurodji dalam keterangan tertulisnya, Selasa (17/5/2022).

Dalam pidato resminya Presiden Rusia Vladimir Putin menyatakan serangan itu merupakan operasi militer khusus yang ditujukan untuk demiliterisasi dan denazifikasi Ukraina. Konsep demiliterisasi dan denazifikasi memiliki dua target berbeda, tetapi satu sama lain berkaitan.

Demiliterisasi lebih memiliki motif geopolitik berkaitan dengan perluasan NATO ke Timur yang sudah sampai di pintu depan rumah Rusia. 

Rusia dengan menggunakan Pasal 51 Piagam PBB menilai bahwa posisi mereka yang terancam kemudian mempunyai hak untuk melakukan serangan preemptive ke wilayah yang menjadi sumber ancaman.

Hal itu berkaitan dengan penguatan militer Ukraina yang di-support negara-negara NATO yang, menurut Rusia, digunakan untuk menindas bangsa Ukraina keturunan Rusia di timur.

Dukungan politik dan militer Barat membangunkan kembali kekhawatiran Rusia akan perluasan pengaruh NATO ke wilayah bekas Uni Soviet.

Sejak awal, lanjut Ahmad Fahrurodji, Rusia menilai eksistensi NATO sudah tidak relevan lagi, seiring dengan berakhirnya Perang Dingin. Rusia mengambil langkah kompromistis dengan menjalin Kemitraan Rusia-NATO, tetapi berbagai upaya akomodatif Rusia itu diabaikan.

Terbukti dengan pemberhentian kemitraan tersebut dan penutupan perwakilan dua pihak di Brussels dan Moskow beberapa bulan lalu.

Terkait dengan hal itu, dalam pidatonya Putin mengatakan negara-negara NATO dalam rangka untuk mencapai tujuan politik mereka mendukung kelompok nasionalis ekstrem dan neo-Nazi Ukraina.

Perluasan NATO sendiri, bagi Rusia, merupakan instrumen politik luar negeri AS untuk semakin menanamkan hegemoni mereka di kawasan. Putin menyoroti telah diabaikannya norma-norma internasional oleh Barat dalam penyelesaian berbagai permasalahan dunia.

Putin mengambil beberapa contoh pelanggaran hukum internasional seperti pengeboman Beograd, Libia, Irak, dan terakhir terhadap Suriah, yang dilakukan koalisi Barat.

Semua pengeboman koalisi itu tidak pernah mendapatkan persetujuan, baik dari pemerintah Suriah maupun DK PBB. Dia mengemukakan, upaya penyelesaian dengan cara kekerasan itu tidak menyelesaikan masalah, tetapi justru menimbulkan permasalahan baru.

Putin menyebut aksi koalisi dan penghancuran di Suriah telah melahirkan arus pengungsi besar-besaran ke Eropa dan munculnya sarang-sarang baru terorisme internasional.

“Sinyalemen Putin tersebut seakan merupakan bentuk protes dan habisnya kesabaran Rusia terhadap berbagai permasalahan dunia yang selama ini diselesaikan secara sepihak oleh AS dan sekutu mereka tanpa mempertimbangkan pandangan pihak lain. Moskow secara konsisten menyerukan tatanan dunia yang multipolar, yang sayangnya semakin hari menunjukkan arah yang sebaliknya,” ujarnya.

Selain itu, demiliterisasi ditujukan untuk melumpuhkan kekuatan rezim yang berkuasa di Kyiv yang selama delapan tahun telah menimbulkan kesengsaraan terhadap rakyat Ukraina Timur.

Sebagaimana diberitakan pers Rusia, serangan dilakukan sehari setelah Putin menerima permintaan dari pemimpin Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk, dua region yang mendeklarasikan kemerdekaan dari Kyiv dan Rusia mengakuinya dua hari sebelumnya.

Dalam pembicaraan dengan Presiden Rusia, kedua pemimpin republik baru itu meminta bantuan Moskow akibat tekanan dan serangan yang dilakukan penguasa Ukraina, yang membahayakan keselamatan 8 juta rakyat mereka.

Putin dalam pidatonya mengatakan pemerintah Ukraina telah melakukan upaya genosida terhadap 8 juta penduduk di Donbass oleh pemerintah Ukraina dan kepada siapa masyarakat sipil itu bergantung, sementara Ukraina mengatakan itu ialah urusan domestik mereka.

Putin menambahkan, hanya Rusia tempat mereka bergantung. Konsep denazifikasi menarget Ukraina sebagai sasaran utama dan sekaligus ke dalam negeri Rusia sendiri sebagai bentuk penguatan nasionalisme seluruh warga negara Rusia.

Rusia menilai pemerintahan Volodymyr Zelensky merupakan pemerintah ultranasionalis-fasis yang membahayakan masyarakatnya sendiri. Dalam konteks ini, kata Ahmad Fahrurodji, kita harus kembali kepada peristiwa Euromaidan yang terjadi 2013-2014 ketika aksi protes di Lapangan Maidan, di Kyiv berubah menjadi aksi brutal.

Aksi bermula ketika oposisi terhadap pemerintahan Viktor Yanukovich melakukan demonstrasi atas kebijakan pemerintah yang menolak bantuan Uni Eropa berubah menjadi anarkistis. Aksi tersebut berujung kudeta setelah Yanukovich meninggalkan ibu kota Ukraina dan menyelamatkan diri di wilayah Rusia.

Dengan naiknya pemerintahan baru gerakan demonstrasi berubah menjadi aksi brutal jalanan, dengan berbagai aksi sweeping di jalan-jalan terhadap warga negara Ukraina yang berafiliasi dengan Rusia, atau warga Ukraina Timur, pelarangan penggunaan bahasa Rusia, dan sebagainya.

Aksi itu menimbulkan reaksi di berbagai daerah di Ukraina Timur. Pemerintah Rusia menilai tindakan para oposisi yang saat itu telah menjadi penguasa di Kyiv merupakan sebuah kelompok neo-Nazi, dengan tindakan fasis yang mengingatkan rakyat Rusia pada getirnya sejarah kelam Perang Dunia II.

Menurutnya, sejak peristiwa Maidan, konflik horizontal terjadi dan melebar ke wilayah timur Ukraina yang menimbulkan perang sipil.

Perang sipil yang terjadi di Ukraina memicu pemerintah daerah Krimea memisahkan diri dari Ukraina dan mengajukan bergabung dengan Federasi Rusia.

Dalam sidang Majelis Federasi, parlemen Rusia mengesahkan Krimea sebagai bagian dari Federasi Rusia sebagai subjek federasi yang ke-90. Tindakan Rusia itu menuai reaksi internasional dan mereka menyatakan Rusia telah mencaplok Krimea.

Denazifikasi merupakan jargon yang erat dengan penanaman semangat nasionalisme dan patriotisme Rusia. Hal itu berkaitan dengan pengalaman historis Rusia dalam PD II, ketika Rusia mengalami tekanan yang berat akibat invasi Nazi pada Juni 1941.

“Dalam historiografi Rusia kemenangan Soviet terhadap Nazi tidak hanya merupakan penyelamatan tanah air, tapi juga penyelamatan seluruh Eropa. Dalam sejarah Rusia Perang Dunia II lebih dikenal dengan The Great Patriotic War. Karena itu, denazifikasi merupakan jargon penting yang mengikatkan seluruh warga negara akan inti keberadaan Rusia sebagaimana tertuang dalam the Russian idea,” paparnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: