Dahlan Iskan: 'Saweran Sambo Di Mana-mana, Padahal Farel Nyanyi di Istana Gak Ada yang Nyawer'
DPR telah kompak memuji Kapolri. Itu tecermin dari rapat dengar pendapat (RDP) Komisi III DPR dengan Kapolri dan jajarannya. Tiga hari lalu. Yakni untuk membahas penanganan peristiwa Duren Tiga Jakarta.
Penanganan kasus pembunuhannya memang sudah menggelinding sampai ke kejaksaan. Tapi opini publik sudah berkembang jauh. Jauh sekali. Sampai ke mafia perjudian, tambang batu bara ilegal, tambang nikel gelap, dan lembaga di luar struktur Polri. Bahkan sampai ke soal gaya hidup hedonis di lingkungan Polri.
Istilah ''saweran Sambo sampai di mana-mana'' juga muncul di sekitar perkara ini –padahal Farel yang menyanyi di halaman istana saja tidak ada yang nyawer.
Istilah ''oknum'' tidak laku lagi. Padahal biasanya kata oknum bisa jadi jalan keluar di banyak kasus yang menyangkut aparat. Kasus Sambo ini tidak bisa lagi dibilang oknum. Rombongannya begitu masal. Yang diperiksa saja 93 personel. Belum lagi yang namanya disebut di skema-skema yang beredar di medsos.
Saya bisa membayangkan betapa sumpek suasana kebatinan Kapolri. Terlalu banyak yang harus ditindak. Terlalu banyak tekanan. Dari dalam. Dari luar. Dari bawah. Dari atas.
UU pemisahan Polri dari TNI telah membuat Polri langsung di bawah presiden. Presiden-presiden sebelum Pak Jokowi periode ke-2 mungkin senang-senang saja. Polri justru bisa dipakai alat langsung untuk mendukung visi-misi seorang presiden. Tapi begitu ada masalah yang demikian berat sekarang ini nama presiden langsung terkait: harus mencari jalan keluar.
Tidak mudah.
Jangan-jangan presiden juga sulit mencari pilihan: siapa orang di dalam Polri yang tidak terkait Sambo dan sawerannya. Mungkin ada. Tapi juga sulit mencari orang dalam seperti tergolong netral. Yang tidak terkait dengan kubu-kubu yang ada di dalam.
Padahal tuntutan rakyat sangat jelas: Polri harus direformasi. Tapi tidak mungkin reformasi bisa dilakukan mendadak. Belum ada konsep yang siap pakai: Polri seperti apa yang diinginkan dalam reformasi itu. Paling singkat Polri baru bisa direformasi lima tahun lagi.
Lalu bagaimana Polri selama belum ada reformasi? Jangan-jangan Presiden Jokowi punya pikiran yang lagi saya pikirkan ini: untuk sementara Polri kembali ke bawah TNI, tapi bukan bagian dari TNI.
Tentu jajaran TNI sendiri harus ditanya: mau atau tidak. Purnawirawan jenderal bintang 4 yang saya ajak bicara tidak setuju itu. Tetap lebih baik TNI jangan urus sipil lagi. Sekarang ini TNI sudah bagus. Dengan nama yang harum. Jangan diseret lagi ke sana.
Memang ini juga sulit. Terutama dalam masalah anggaran. Anggaran untuk TNI itu diatur oleh Kementerian Pertahanan. Bukan oleh Panglima TNI. Padahal anggaran untuk Polri harus sangat besar. Apakah juga harus dikelola oleh Kementerian Pertahanan.
TNI sudah berpengalaman mereformasi diri. Dengan merelakan hilangnya kenikmatan yang begitu banyak dan luas. Maka Panglima TNI bisa membidani lahirnya konsep reformasi Polri. Tentu dengan melibatkan para intelektual yang ada di dalam Polri sendiri.
Ketika memisahkan Polri dari TNI, memang terjadi perdebatan: Polri menjadi di bawah siapa. Di banyak negara Polri di bawah kementerian dalam negeri. Sebagai penanda bahwa Polri bukan bagian dari militer.
Itulah sebabnya Polri tidak ditempatkan di bawah Kementerian Pertahanan.
Ada pula yang usul Polri di bawah kementerian kehakiman.
Akhirnya diputuskan di bawah presiden langsung.
Tapi dengan kasus Sambo ini, Presiden Jokowi seperti sedang menerima kiriman bola api dari bawah. Tidak ada pihak lain yang bisa menangkap bola api itu agar jangan sampai ke presiden.
Itulah sebabnya dalam doktrin manajemen, saya kembangkan ajaran ''bawahan yang baik adalah bawahan yang tidak suka melempar bola api ke atas''.
Atasan itu punya begitu banyak pekerjaan dan tanggung jawab. Tentu sesekali bawahan pasti merepotkan atasan. Bawahan kadang punya batas kemampuan. Lantas minta jalan keluar ke atasan. Itu baik-baik saja. Asal jangan sering. Kalau terlalu sering, sang atasan langsung punya penilaian: bawahannya tidak mampu. Harus diganti.
Maka bawahan merepotkan atasan biasa saja. Tapi jangan sampai melemparkan bola api ke atas. Yakni melemparkan persoalan yang penuh risiko bagi sang atasan.
Kasus Sambo adalah jenis bola api. Bagi atasan hanya ada dua pilihan: menangkap bola api itu dengan risiko ikut terbakar. Atau mencari pemadam kebakaran, dengan risiko rumah yang belum terbakar pun ikut kena semprot.
Percayalah, bawahan yang tidak pernah melempar bola api ke atas, kelak ia/dia akan sampai di atas. Dan atasan harus mendoktrin bawahan: kalau Anda sampai melemparkan bola api ke atas, saya tidak akan menangkap bola api itu. Saya akan balikkan bola api itu ke Anda! (Dahlan Iskan)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: