Implementasi dari Taksonomi Hijau yang telah diluncurkan awal tahun ini oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dinilai harus sejalan dengan prinsip transisi berkeadilan (just transition).
Hal itu bertujuan agar keberlanjutan lingkungan dan prinsip sosial dan HAM dalam proses transisi energi menuju energi bersih terbarukan dapat terlaksana dengan baik.
Adanya Taksonomi Hijau versi 1.0 berfungsi sebagai panduan bersama untuk mengetahui kegiatan ekonomi mana saja yang berbahaya dan tidak berbahaya bagi lingkungan.
Baca Juga: Gernas BBI di Sumbar Cetak Realisasi Transaksi Penjualan UMKM Rp15,72 Miliar
Kehadiran Taksonomi Hijau diharapkan mampu mendorong akselerasi pembiayaan transisi energi yang mendukung upaya perlindungan lingkungan hidup dan mitigasi, serta adaptasi perubahan iklim, sejalan dengan komitmen Indonesia menuju net zero emission.
Program Manager dari Perkumpulan Prakarsa, Herni Ramdlaningrum menilai Taksonomi Hijau 1.0 yang dikeluarkan oleh OJK, muncul dari adanya peningkatan kesadaran global terkait pentingnya aspek keberlanjutan.
Menurutnya, industri keuangan sendiri merupakan aktor penting dalam mencapai agenda perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan. Namun, ada beberapa catatan penting yang perlu digarisbawahi terkait Taksonomi Hijau di Indonesia.
“Dengan menggunakan labelisasi “lampu merah” (merah, kuning, hijau), sub-sektor kuning tersebut dinilai merupakan sebuah kompromi dan berpotensi menyesatkan,” ujar Herni dalam keterangan tertulis yang diterima, Jumat (16/9/2022).
Herni mengatakan, Taksonomi Hijau 1.0 juga masih memiliki kelemahan jika dilihat dari sisi dimensi inklusivitas, kesetaraan gender, dan penegakan HAM.
"OJK harus mengambil posisi tegas terkait beberapa sektor yang masih dilabeli kuning karena akan kontra produktif dengan agenda transisi energinya,” paparnya.
Herni menambahkan, OJK diharapkan memiliki timeframe yang jelas untuk memutuskan hal ini, dengan secara serius mempertimbangkan dimensi sosial.
"Semoga saat ini, yang dikategorikan kuning (seperti batu bara) dapat berubah menjadi merah,” ungkapnya.
Sementara itu, Analis Senior Climate Policy Initiative Luthfyana Larasati, mengatakan terjadi tren peningkatan partisipasi sektor swasta di sektor investasi hijau sejak ditetapkannya Peraturan OJK Nomor 51/2017 tentang Keuangan Berkelanjutan hingga adanya Taksonomi Hijau 1.0.
Menurutnya, Taksonomi Hijau harusnya berpeluang memperlebar cakupan pelaporan kegiatan berkelanjutan POJK 51 karena telah mencakup 919 subsektor yang sesuai dengan Standar Klasifikasi Industri Indonesia (KBLI).
Luthfyana menjelaskan, sejauh ini baru terdapat 15 sub-sektor atau kegiatan usaha yang berkategori hijau, sedangkan terdapat 422 sub-sektor berlabel kuning yang artinya perlu pemenuhan prasyarat untuk mendapatkan pembiayaan dan 482 yang berlabel merah yaitu kegiatan yang merusak lingkungan, artinya lebih dari 50% sub-sektor dinilai tidak selaras dengan tujuan iklim dan transisi energi Indonesia menuju net-zero emission.
Dia mencontohkan, industri fosil seperti batu bara masih dimasukan antara kategori kuning dan merah. Menurut Lutfyana, seharusnya label kuning ini adalah kondisi di mana subsektor tersebut masih di dalam masa/periode transisi menuju kegiatan ekonomi yang lebih berkelanjutan. Adanya standar AMDAL misalnya, membuat kecenderungan subsektor ini dapat masuk ke kategori hijau. Perkiraan sekitar 50% subsektor yang masuk kuning akan menjadi hijau.
“Ke depannya Taksonomi Hijau perlu memperkuat penentuan matriks sub-sektor dan ambang batas (threshold) dari pelabelannya. Tujuannya agar Taksonomi Hijau benar-benar dapat sejalan dengan komitmen net zero. Dengan memperkuat konsolidasi dan sinkronisasi dari Taksonomi Hijau sehingga dapat menarik investasi di sektor hijau dan mengurangi biaya verifikasi dan uji tuntas (due diligence),” tuturnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: