Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kebijakan Berubah-Ubah Sulitkan Pelaku Usaha

Kebijakan Berubah-Ubah Sulitkan Pelaku Usaha Kredit Foto: Agus Aryanto
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kebijakan pemerintah mengenai crude palm oil (CPO) yang berubah-ubah dinilai telah merugikan banyak pihak, terutama pelaku usaha. Apalagi, untuk melaksanakan kebijakan atau aturan baru, pelaku usaha perlu waktu untuk melakukan persiapan.

“Pelaku usaha perlu waktu dan strategi untuk melaksanakan kebijakan baru yang ditetapkan. Dengan adanya kebijakan yang berubah-ubah, dari pertama penerapan DMO-DPO kemudian melarang ekspor bahan baku minyak goreng, dan kemudian diubah kembali menjadi melarang ekspor CPO dan seluruh produk turunannya, jelas ini mercerminkan adanya ketidakkepastian hukum kepada para pelaku usaha,” ungkap Akademisi Universitas Al- Azhar Indonesia DR. Sadino, SH, MH dalam keterangan tertulis, Selasa (18/10).

Ia mengatakan, dengan hilangnya kepercayaan dari investor ini tentu saja akan membuat pemilik modal tidak mau menanamkan investasinya ke Indonesia. Bahkan, itu akan berdampak lebih besar seperti melesetnya target investasi dan lainnya. Kerugian lain juga dialami para petani atau pekebun kelapa sawit. Sebab, dengan aturan yang berubah-ubah ini berdampak besar pada penurunan harga kelapa sawit.

"Kerugian terbesar diderita oleh petani sawit disaat harga sedang bagus-bagusnya. Bukannya menikmati harga tinggi malah mendapatkan penurunan harga TBS nya, 10-30%," jelas dia.

Sadino menambahkan, kebijakan yang tidak konsisten tersebut bahkan membuat pelaku usaha menjadi terdakwa dugaan korupsi minyak goreng (migor).

"Mereka menjadi korban dari tidak konsistennya kebijakan yang ada," ujarnya.

Sadino justru menilai, Peraturan Kemendag soal Harga Eceran Tertinggi (HET) sebagai penyebab kelangkaan minyak goreng di dalam negeri. Menurutnya, penetapan HET minyak goreng Rp 14.000 per liter, tidak mengikuti harga minyak sawit mentah internasional (Crude Palm Oil/CPO) yang sudah naik. "Dengan patokan harga itu produsen kesulitan untuk menjual produknya. Sebab akan mengalami kerugian yang sangat besar," jelasnya.

Akibatnya, pasokan minyak goreng di pasaran menurun hingga menimbulkan kelangkaan. Sementara barang yang sudah diproduksi produsen, tidak berani dijual di atas harga pasar. Berawal dari sini, Kemendag mulai membuat serangkaian kebijakan, hingga akhirnya produsen minyak goreng diwajibkan mengalokasikan 20% produksinya untuk kebutuhan dalam negeri, lewat kebijakan domestic market obligation (DMO), melalui Permendag Nomor 8 Tahun 2022.

"Regulasi ini meminta para pelaku usaha untuk melakukan subsidi minyak goreng. Pelaku usaha yang hendak ekspor diwajibkan untuk menenuhi DMO sebesar 20% ke dalam negeri sebelum melakukan ekspor,” ujarnya.

Ia berpendapat, larangan ekspor akan menghambat pertumbuhan ekonomi, pemulihan krisis, dan merugikan perekonomian negara khususnya devisa yang hilang akibat larangan ekspor.

"Hambatan dan larangan ekspor akan merugikan bangsa Indonesia. Menghambat pertumbuhan ekonomi, pemulihan krisis, dan merugikan perekonomian negara yang diakibatkan dari hilangnya devisa,” tegas Sadino.

Selain itu, lanjut Sadino, kebijakan DMO dan DPO yang berlaku pada produk CPO dan turunannya berpotensi merugikan petani kelapa sawit di tingkat bawah. Jika aturan DMO dan DPO terus berlanjut, dia khawatir petani/pengusaha kelapa sawit nggan menanam sawit dan berhenti produksi untuk sementara waktu.

"Mestinya disaat harga sedang tinggi, pemerintah mendorong ekspor sebesar-besarnya agak petani sejahtera. Bukan seperti sekarang, justru menghambat. Sebuah peluang yang jarang terjadi, malah tidak dimanfaatkan dengan baik,” tutur dia.

Sementara itu, Analis Perdagangan Direktorat Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting, Ditjen Perdagangan Dalam Negeri, Kementerian Perdagangan (Kemendag), Indra Wijayanto dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi pengurusan izin ekspor CPO yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengatakan, di satu sisi Indonesia diuntungkan karena nilai ekspor naik, tetapi di sisi lain harga minyak goreng (migor) di dalam negeri ikut melambung.

"Kemendag sebenarnya sudah menemukan harga migor mulai merangkak naik pada Agustus 2021. Pada saat itu, sejumlah regulasi dikeluarkan Kemendag guna mengatasinya,” ujarnya.

Indra mengatakan, pemerintah telah berusaha keras untuk memastikan ketersediaan harga minyak goreng di pasaran sesuai dengan ketetapan Harga Eceran Tertinggi (HET). Padahal, HET yang ditetapkan jauh selisihnya dari harga keekonomian yang sesungguhnya. Ujungnya, pelaku usaha jadi merugi.

“Pelaku usaha pasti merugi, HET yang ditetapkan jauh selisihnya dari harga keekonomian yang sesungguhnya. Minyak jenis apapun, merk apapun harus dijual dengan harga Rp 14.000. Di mana, harga keekonomiannya sekitar Rp 17.260 sehingga nanti yang dibayarkan oleh BPDPKS adalah selisih dari harga keekonomian dikurangi HET," ucap Indra.

Regulasi Pro Ekspor

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mengatakan, di tengah ketidakpastian global yang tinggi dan ancaman resesi, pemerintah perlu memberlakukan regulasi pro ekspor komoditas yang mendukung kepastian dalam berusaha. Apalagi, lanjutnya, Indonesia diuntungkan dengan kenaikan harga komoditas global sehingga berpotensi menambah pendapatan negara.

Tauhid yakin CPO atau minyak sawit masih menjadi komoditas yang menyumbangkan pundi-pundi besar terhadap devisa negara.

"Kebijakan yang diambil pemerintah yang menghambat perlu dihapuskan, sehingga tidak merugikan perekonomian negara akibat hilangnya devisa yang harusnya masuk ke negara. Merugikan perusahaan dan tentu saja merugikan petani sawit, karena turunnya harga TBS,” tegas Tauhid.

Sementara itu, di dalam negeri hal yang bisa dilakukan dengan melakukan pengawasan ketat terhadap pelaksanaan penetapan harga TBS sawit. Agar penetapan harga TBS sepihak tidak terjadi, diperlukan pengawasan ketat oleh gubernur di wilayahnya, sebagai pihak yang menetapkan TBS, untuk mencegah konflik antara petani dan pabrik sawit.

Ia mengatakan, perlunya pelindungan bagi petani yang tidak bermitra dengan perusahaan dalam memperoleh harga TBS sawit. Apalagi, jumlah petani bermitra dengan perusahaan sebanyak 7%, sedangkan 93% lainnya merupakan petani sawit swadaya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Bagikan Artikel: