Tanda-tanda Arab Saudi Jauhi Amerika Kian Nyata, Xi Jinping bakal Segera Merapat ke Pangeran MBS
Presiden China Xi Jinping akan bertandang ke Arab Saudi pada Kamis (8/12/2022). Kunjungan kenegaraan selama 2 hari itu terjadi di tengah ketegangan tinggi antara Amerika Serikat dan kedua negara.
Dilansir dari CNN, agenda Xi di Riyadh mencakup KTT China-Arab dan konferensi China-Dewan Kerja Sama untuk Negara Arab di Teluk (GCC).
Baca Juga: Intelijen Amerika: Vaksin Barat Ditolak Mentah-mentah Xi Jinping
Setidaknya 14 kepala negara Arab diharapkan menghadiri KTT China-Arab, menurut sumber diplomatik Arab yang enggan disebutkan namanya. Ia menyebut kunjungan ini sebagai 'tonggak sejarah' bagi hubungan Arab-China.
Desas-desus tentang kunjungan presiden China ke sekutu terbesar AS di Timur Tengah telah beredar selama berbulan-bulan. Namun, pemerintah Arab Saudi dan China sama-sama belum mengonfirmasinya. China pun belum mengumumkan secara resmi bahwa Xi akan bertandang ke Arab Saudi.
Pekan lalu, pemerintah Saudi mengirimkan formulir pendaftaran kepada jurnalis untuk meliput KTT. Namun, tanggal pastinya belum dikonfirmasi. Pemerintah Saudi juga belum mengungkapkan informasi apa pun soal kunjungan Xi dan KTT yang direncanakan.
Laporan kunjungan ini beredar di tengah sejumlah ketidaksepakatan yang dipendam AS terhadap China dan Arab Saudi.
AS dan Arab Saudi masih berselisih soal produksi minyak. Pertikaian panas ini memuncak pada bulan Oktober dalam retorika yang kuat dan saling tuduh ketika organisasi minyak pimpinan Saudi, OPEC+, memangkas produksi sebesar 2 juta barel per hari untuk menstabilkan harga. Keputusan ini diambil, meski AS bersikeras menentangnya.
Sebagai sekutu kuat AS selama 8 dekade, Arab Saudi mengeluhkan memudarnya kehadiran keamanan AS di wilayah tersebut, terutama di tengah meningkatnya ancaman dari Iran dan proksi bersenjata Yaman.
Di sisi lain, China sebagai raksasa ekonomi Timur telah berselisih dengan AS atas Taiwan. Presiden AS Joe Biden berulang kali berjanji akan melindungi Taiwan jika China menyerang. Masalah ini pun memperburuk hubungan AS dan Beijing yang telah bersaing sengit untuk mendapatkan pengaruh di Timur Tengah yang bergejolak.
Ketika sekutu AS di Teluk Arab menuduh Washington meruntuhkan jaminan keamanannya di kawasan itu, China masuk untuk memperkuat hubungannya dengan monarki Teluk, serta musuh AS, Iran dan Rusia.
Baik China dan Arab Saudi juga mengambil sikap berbeda dari Barat terhadap perang Ukraina. Keduanya menahan diri untuk tak mendukung sanksi terhadap Rusia. Riyadh pun berulang kali mengingatkan bahwa Moskow adalah mitra penghasil energi utama, sehingga harus dikonsultasikan dalam keputusan OPEC+.
Menyusul pemangkasan minyak besar-besaran bulan lalu, sejumlah pejabat AS menuduh Arab Saudi berpihak pada Rusia dan membantu Presiden Vladimir Putin dalam perangnya di Ukraina. Otoritas Saudi sontak membantah memanfaatkan minyak sebagai senjata maupun berpihak pada Rusia.
Menurut Biden pada bulan Oktober, AS akan 'memikirkan kembali' hubungannya dengan Arab Saudi. Ia pun tampaknya mencoba memperbaikinya dalam kunjungan ke Riyadh pada Juli.
Setelah bersumpah akan membuat kerajaan itu menjadi 'paria' dan mengutuk putra mahkota sekaligus penguasa de facto, Mohammed bin Salman, atas pembunuhan jurnalis Saudi, Jamal Khashoggi, Biden terbang ke Riyadh di tengah krisis minyak global.
Ia pun menyapa bin Salman dengan kepalan tangan yang membuatnya menjadi berita utama global. Kunjungan itu berlangsung sangat dingin tanpa menghasilkan peningkatan produksi minyak dan hanya memperparah ketegangan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: