Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Presiden Selanjutnya Bakal Bersiap Dapat Hibah 'Beban' Proyek Kereta Cepat dari Presiden Jokowi

Presiden Selanjutnya Bakal Bersiap Dapat Hibah 'Beban' Proyek Kereta Cepat dari Presiden Jokowi Kredit Foto: Website DPR RI
Warta Ekonomi, Jakarta -

Willem Wandik Anggota DPR-RI Dapil Papua sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Demokrat mengatakan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung saat ini berada pada posisi "menjadi beban Pemerintah dan generasi presiden selanjutnya". 

Beban ini akan ditanggung Pemerintah selama 80 tahun berikutnya dan bisa berpotensi bertambah, jika selama 80 tahun tersebut terjadi kondisi yang luar biasa.

Willem menyebut  proyek kereta cepat menjadi beban bukan tanpa alasan, yang pertama adalah adanya "Forecasting" anggaran yang mengalami kegagalan. 

Baca Juga: Dengar Luhut Nilai OTT KPK Buat Indonesia Jelek, Ucapan Elite Demokrat Tajam: Gak Ada Harapan...

“Hal ini dikarenakan realisasi anggaran dalam pengerjaan proyek kereta cepat telah melampaui ambang batas perencanaan anggaran yang ditetapkan sebelumnya. Saat ini kondisi keuangan proyek, mengalami "bubble/gelembung" di angka Rp 21 triliun,” katanya melalui keterangan tertulis, Rabu (21/12/22). 

“Hal itu mendesak Indonesia untuk menarik pinjaman Rp16 triliun ke China Development Bank, atau mencapai 75% dari total kebutuhan anggaran yang tersedia saat ini, untuk menambal kebutuhan pembengkakan anggaran yang terjadi,” jelasnya. 

“Sehingga menjadi alasan pada sisi kepentingan investor China melalui operator pelaksanaanya di KCIC (Kereta Cepat Indonesia-China) mendorong negosiasi untuk menambah konsesi hak pengoperasian kereta cepat dari 50 tahun menjadi 80 tahun,” tambahnya.

Pada sisi Pemerintah atau Presiden (baik pada saat ini/maupun beberapa pejabat presiden berikutnya) menurut dia, gelembung anggaran mega proyek kereta cepat ini, menjadi akan beban yang lebih menakutkan dibandingkan utang IMF. 

“Hal ini dikarenakan klausul penguasaan monopoli jalur kereta cepat justru dikuasai hampir mendekati 100 tahun, ini bahkan melampaui batas produktivitas aset kereta cepat,” ungkapnya.

Baca Juga: Demokrat Terus Berupaya Menjadikan AHY Cawapres Anies Baswedan: Kita Ingin Menang!

“Beban pembiayaan yang begitu membengkak, diperburuk lagi dengan "acting" para pelaksana proyek yang dituntut untuk segera mengejar target penggunaan kereta cepat yang harus segera dicapai di tahun 2023,” tambahnya. 

Hal ini, menurut Willem  tidak lain bertujuan untuk mempercepat "manfaat politis" sebelum masa tugas kepresidenan tuntas di tahun 2024. 

Demi mengejar "standar politis/selebrasi politis", para insinyur dipaksakan untuk mengejar "timeline politis" tersebut. Sehingga tanpa disadari, berbagai aspek yang menjadi  "standar engineering dan keselamatan" justru diabaikan.

“Padahal, penggunaan kereta cepat tersebut akan melibatkan jutaan pengguna transportasi di Jabar - DKI Jakarta Raya. Pengabaian standar engineering dan keselamatan" bagi pengguna kereta cepat ini dapat menjadi bom waktu dan teror "transportasi" di masa-masa mendatang,” jelasnya.

Ia menambahkan, pengerjaan proyek kereta cepat "tidak sama" seperti pengerjaan ruas tol atau pembangunan jalan/jembatan. 

Kereta cepat berkaitan dengan "penerapan teknologi transportasi" yang memiliki risiko tinggi, dengan kecepatan yang mencapai 350 km/jam. 

Baca Juga: Waduh, Elite Demokrat Cium Keterkaitan KUHP Baru dan Wacana Jokowi Tiga Periode: Tak Usah Tunggu...

“Dengan kata lain, proyek pembangunan kereta cepat harus mengikuti "standar enginering" yang ketat, dilakukan secara hati-hati dan bertahap. Tidak bisa mengikuti "selera politis", untuk sekadar mendapatkan pujian/selebrasi, karena berhasil membangun kereta cepat dalam waktu singkat,” katanya. 

“Justru tendensi politis akan membahayakan jutaan pengguna kereta cepat dan dapat menjadi bencana transportasi nasional yang sangat membahayakan jutaan pengguna kereta cepat di Jabar & DKI Jakarta Raya,” jelasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Sabrina Mulia Rhamadanty
Editor: Sabrina Mulia Rhamadanty

Bagikan Artikel: