Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Catatan Akhir Tahun Kinerja Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf di Bidang Ekonomi, Politik dan Hukum, Fraksi PKS: Jauh dari Harapan

Catatan Akhir Tahun Kinerja Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf di Bidang Ekonomi, Politik dan Hukum, Fraksi PKS: Jauh dari Harapan Kredit Foto: Partai Keadilan Sejahtera
Warta Ekonomi, Jakarta -

Fraksi PKS memberikan catatan kritis atas jalannya roda pemerintahan dalam mengelola negara sepanjang tahun 2022 yang terbagi dalam tiga kluster yaitu, pertama Ekonomi dan Kesejahteraan Rakyat, dua Politik dan Demokrasi, Hukum dan Etika Penyelenggara Negara. 

Evaluasi tersebut disampaikan oleh Ketua Fraksi PKS DPR Jazuli Juwaini dan menyebut banyak masalah sekaligus tantangan Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin selama tahun 2022.

"Berbagai indikator ekonomi, politik, dan hukum tidak baik-baik saja. Sayangnya banyak kebijakan yang tidak tepat bahkan tidak mencerminkan semangat untuk "pulih lebih cepat bangkit lebih kuat" sebagaimana acapkali disampaikan pemerintah. Alhasil, kinerja Pemerintah masih jauh dari harapan dan belum bisa wujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat," kata Jazuli dalam keterangan persnya.

1. Ekonomi dan Kesejahteraan Rakyat

Fraksi PKS menilai kinerja ekonomi pemerintah tidak maksimal dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. 

Data menunjukkan, walaupun jumlah penduduk miskin pada maret 2022 sebesar 26,16 juta jiwa atau sekitar 9,54% turun dibandingkan periode yang sama tahun 2021 sebesar 27,54 juta jiwa atau sekitar 10,14%, angka ini tergolong tinggi.

Selisih jumlah penduduk miskin perkotaan dibandingkan perdesaan cukup tinggi. Pada Maret 2022, pendudukan miskin perkotaan sebesar 7,50% sedangkan perdesaan mencapai 12,29%. 

Kurang baiknya penanganan kemiskinan selama Covid-19, menyebabkan tingkat kemiskinan ekstrem mencapai 4% atau 10,86 juta jiwa. Indonesia menjadi negara paling miskin nomor 91 di dunia pada 2022. (gfmag.com).

Jumlah pengangguran di Indonesia ada sebanyak 8,42 juta orang per Agustus 2022. Jumlah ini meningkat sekitar 200.000 orang dari posisi per Februari 2022 yang mencapai 8,40 juta orang.  

Tingkat pengangguran di Indonesia masih tinggi dan belum kembali ke posisi sebelum pandemi. Masih banyak ancaman PHK yang dilakukan oleh perusahaan dan pabrik sepanjang tahun 2022

Pertumbuhan ekonomi saat ini masih belum bisa memenuhi penciptaan lapangan kerja yang berkualitas, baik dari sisi demand tenaga kerjanya, dan dari sisi supply nya peningkatan kualitas tenaga kerja. Pemulihan ekonomi pada tahun 2022 belum bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.

Fraksi PKS juga menyoroti kegagalan pemerintah dalam mewujudkan pemerataan ekonomi rakyat. Padahal inti dari pembangunan adalah kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Yang artinya terwujudnya keadilan ekonomi dan menipisnya jarak ketimpangan dalam masyarakat.

Angka gini ratio pada bulan Maret 2022 sebesar 0,384, mengalami peningkatan 0,003 poin jika dibandingkan dengan angka di bulan September 2021 sebesar 0,381. Angka ini menunjukkan tingkat ketimpangan semakin melebar.

Rasio gini di perkotaan tercatat sebesar 0,403 pada Maret 2022. Nilai itu naik dibandingkan pada September 2021 yang sebesar 0,398. Sementara rasio gini di perdesaan dilaporkan sebesar 0,314. Angkanya tidak berubah dibandingkan kondisi September 2021.

Secara agregat, berdasarkan Laporan World Inequality Report 2022 menunjukkan bahwa, pendapatan rata-rata penduduk Indonesia selalu meningkat setiap tahunnya hingga mencapai Rp69,03 juta pada 2021. Sayanya, pendapatan tersebut tidak terdistribusi dengan merata di antara masyarakat.

Kelompok masyarakat berpendapatan 10% teratas di Indonesia menguasai 48% dari total penghasilan nasional pada 2021. Proporsi itu mengalami peningkatan dibandingkan dua dekade sebelumnya yang sebesar 41,5%.

Sedangkan, 50% penduduk dengan pendapatan terbawah hanya menguasai 12,4% dari pemasukan nasional. Persentasenya merosot dibandingkan pada 2001 yang sebesar 17,1% pendapatan nasional.

Ketimpangan kekayaan di Indonesia pun tidak banyak berubah dalam dua dekade terakhir. Kelompok 50% terbawah hanya memiliki 5,46% dari total kekayaan rumah tangga nasional pada 2021.

Persentase itu lebih rendah dibandingkan pada 2001 yang sebesar 5,86%. Sementara 10% penduduk terkaya di Indonesia memiliki 60,2% dari total aset rumah tangga secara nasional pada 2021. Angkanya justru meningkat dibandingkan pada 2001 yang sebesar 57,44%.

Masih berkaitan erat dengan pembangunan kesejahteraan rakyat, Fraksi PKS menyoroti kinerja pemerintah dalam mempersiapkan SDM handal khususnya dalam menangkap peluang bonus demografi yang tidak terlihat dan nyaris jalan di tempat (stagnan) jika dikonfirmasi dengan data-data yang ada.

Di tengah rendahnya kualitas pembangunan ekonomi di atas, Fraksi PKS menyayangkan laju peningkatan utang negara dan bunganya yang terus membengkak dan menjadi beban bagi generasi mendatang.

Fraksi PKS benar-benar khawatir dan hal ini seharusnya menjadi warning bagi pemerintah bahwa pembangunan Indonesia bertumpu pada utang.

Berdasarkan data, utang Indonesia dari Tahun ke Tahun menunjukkan pembengkakan yang signifikan.

2017: Rp3.995 triliun

2018: Rp4.418 triliun 

2019: Rp4.786 triliun  

2020: Rp6.074 triliun  

2021: Rp6.908 triliun 

Oktober 2022: Rp7.496,7 triliun 

Demikian juga dengan Anggaran Bunga Utang di APBN dari Tahun ke Tahun juga menunjukkan pembengkakan. 

2017: Rp216,6 triliun

2018: Rp257,9 triliun

2019: Rp275,5 triliun

2020: Rp314,1 triliun

2021: Rp343,5 triliun

2022: Rp403,9 triliun

RAPBN 2023: 441,4 triliun

Fraksi PKS juga menyayangkan kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi di tengah kondisi masyarakat yang kesulitan paska pandemi covid 19.

Kebijakan kenaikan BBM bersubsidi pada 3 September 2022 itu menyebabkan inflasi tinggi dan berdampak pada kenaikan harga-harga kebutuhan masyarakat. Sampai dengan bulan November 2022, inflasi umum sebesar 5,42% (yoy).

Fraksi PKS mengkritik keras pembiayaan APBN untuk Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB). Padahal janji awalnya proyek ini tidak menggunakan APBN.

Nyatanya KCJB telah mengalami cost overrun menjadi sebesar 8 miliar dolar AS atau setara 114,24 triliun rupiah. Biaya itu membengkak 27,09 triliun rupiah dari rencana awal yang hanya sebesar 86,5 triliun rupiah.

Tiba-tiba Presiden mengeluarkan Perpres Nomor 93 Tahun 2021 yang menjadi alas APBN bisa digunakan untuk ikut mendanai pembengkakan biaya kereta cepat tersebut. Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar 4,1 Triliun rupiah pun akan digelontorkan untuk menambal biaya bengkak Proyek Kereta Cepat. Alhasil proyek ini bukan saja amburadul dalam perencanaan tapi juga mengelabuhi kita semua dengan menjadi beban baru bagi keuangan negara.

Fraksi PKS juga mengkritik keras proyek Ibu Kota Negara. Sejak RUU dibahas Fraksi PKS telah menyatakan penolakan atas UU tersebut karena sama sekali bukan prioritas dan bermasalah dalam berbagai aspek : tinjauan filosofis, historis, ketatanegaraan hingga masalah lingkungan, tata ruang, dan daya dukung lainnya. Tidak kalah penting adalah adanya beban keuangan negara yang sangat besar.

Total anggaran yang dibutuhkan untuk pembangunan Ibu Kota Negara "Nusantara" diperkirakan sebesar Rp 466 triliun ke Rp 486 triliun. Anggaran yang relatif sangat besar apabila dimanfaatkan untuk sektor-sektor lainnya. Selain itu, proses pembahasan UU IKN sebagai landasan pembangunan IKN dinilai sangat terburu-buru dan tanpa kajian matang. Terbukti, belum sampai setahun, UU IKN ingin kembali direvisi oleh pemerintah.

Adapun, sumber dana pembangunan rencananya akan didapat melalui APBN, investasi swasta, BUMN, hingga skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) atau public private partnership (PPP). Kemampuan APBN diperkirakan sangat tipis, yakni sekitar 92,34 triliun. Namun, hingga saat ini, belum terlalu jelas siapa saja investor yang akan terlibat dalam pembangunan IKN tersebut. Artinya, ada potensi penggunaan APBN yang luar biasa besar dalam pembangunan IKN.

Pemerintah nyatanya juga gagal mewujudkan kedaulatan pangan untuk rakyat. Padahal kedaulatan pangan adalah jalan toll menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Mengingat Indonesia memiliki semua potensi sumber daya alam yang tidak dimiliki negara manapun berupa hasil bumi: beras, kedelai, jagung, garam, ikan hingga bahan baku minyak goreng.

Alih-alih mewujudkan kedaulatan, untuk urusan kemandirian pangan pun dalam sejumlah komoditas masih harus impor setiap tahun. Hal tersebut dapat dilihat dari data impor tiap tahun sebagai berikut:

Impor Gula

2017: 4,48 juta ton

2018: 5,02 juta ton

2019: 4,09 juta ton

2020: 5,53 juta ton

2021: 5,45 juta ton

2022: Alokasi impor sebesar 4,37 juta ton

Impor Beras

2017: 305,27 ribu ton

2018: 2,25 juta ton

2019: 444,5 ribu ton

2020: 356,28 ribu ton

2021: 407,74 ribu ton

2022

Kuartal I: 51.408,05 ton

Kuartal II: 75.075,08 ton

Kuartal III: 162.224,02 ton

Kuartal IV: (sampai Oktober): 12.999,01 ton

Total (Januari - Oktober 2022): 301,7 ribu ton

Impor Daging Sapi

2017: 160,19 ribu ton

2018: 207,42 ribu ton

2019: 262,25 ribu ton

2020: 223,42 ribu ton

2021: 273,53 ribu ton

2022: Kebutuhan impor daging sapi/kerbau pada tahun 2022 diperkirakan sebesar 266,6 ribu ton.

Impor Kedelai

2017: 2,67 juta ton

2018: 2,58 juta ton

2019: 2,67 juta ton

2020: 2,47 juta ton

2021: 2,48 juta ton

2022 (Januari-Agustus): 1,37 juta ton.

Dalam pandangan Fraksi PKS, penyebab kedaulatan pangan belum juga bisa terwujud karena pemerintah tidak memiliki kebijakan pertanian dari hulu ke hilir yang komprehensif, pemerintah juga gagal mengatur tata niaga kebutuhan pokok dan pangan masyarakat.

Akibatnya pangan yang melimpah di waktu panen tidak terserap pemerintah. Atau tiba-tiba Indonesia mengalami krisis minyak goreng di pasaran seperti yang terjadi akhir tahun lalu. Petani pun tak kunjung sejahtera, selain sawah yang semakin menyempit, biaya tanam berupa benih dan pupuk kerap melambung, sementara ketika panen harga jatuh.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Bagikan Artikel: