Pemerintahan Afghanistan yang dipimpin Taliban, telah mendandatangani kontrak penambangan minyak dengan perusahaan asal China.
Kontrak tersebut ditandatangani dengan Xinjiang Central Asia Petroleum and Gas Co (CAPEIC), perusahaan China yang akan menginvestasikan US$ 540 juta untuk mengembangkan ladang minyak dan gas di negara tersebut, selama 25 tahun.
Melalui Twitter-nya, juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid, menuturkan bahwa CAPEIC akan menginvestasikan 150 juta dollar AS per tahun di Afghanistan di bawah kontrak.
Pemerintah Afganistan yang dikelola dan dikuasai penuh oleh Taliban, lanjut Mujahid, akan memiliki kemitraan 20 persen dalam proyek tersebut.
Meskipun belum sepenuhnya mengakui Taliban sebagai pemerintah yang sah di Afghanistan, Beijing mengakui bahwa kelompok tersebut-lah yang mengendalikan negara dengan sumber daya alam sangat besar, sehingga hal ini tentunya menjadi penting bagi keamanan dan strategi ekonomi China.
Kesepakatan eksplorasi minyak tersebut, adalah investasi skala besar pertama yang dilakukan di Afghanistan, sejak Taliban mengambil alih negara yang dilanda perang itu pada Agustus 2021, menyusul penarikan pasukan Amerika Serikat, setelah 20 tahun berada di wilayah tersebut.
Keberhasilan China sebagai satu-satunya negara yang saat ini menguasai kerjasama eksplorasi minyak di Afganistan, tentunya memberikan angin segar bagi Beijing ditengah krisis dan keamanan energi negaranya.
Apalagi sebagai negara terpadat di dunia dan raksasa industri, China juga merupakan konsumen energi terbesar di dunia.
Menanggapi hal ini, Dewan Pimpinan Pusat Pelajar Islam Indonesia (DPP PII) menilai terbongkar sudah alasan diplomat China yang tidak ikut melarikan diri seperti perwakilan negara-negara dunia lainnya, saat kelompok Taliban menguasai Afganistan.
Wakil Bendahara DPP PII, Furqan Raka menyebut taktik China berdiam diri ditengah gelombang eksodus keluar dari Afganistan, tak lain untuk mengambil kesempatan untuk menjalin kerjasama dalam eksplorasi sumber daya alam negara, yang saat ini 100 persen dikuasai kelompok Taliban.
Sebagai negara terpadat di dunia dan raksasa industri, China menyadari bahwa mereka adalah konsumen energi terbesar di dunia.
“Harus diakui, China pintar sekali memanfaatkan situasi di Afganistan, paska dikuasai oleh kelompok Taliban. Beijing kini mungkin sudah dianggap saudara oleh Taliban, sehingga kerjasama strategis mulai terjalin antar kedua negara,” kata Furqan Raka kepada wartawan, Jum’at (20/1/2023).
Kerjasama eksplorasi minyak Afganistan, lanjut Furqan Raka, tentunya menjadi salah satu penyangga energi proyek-proyek strategis dan keinginan besar China, untuk menguasai dunia.
Salah satu proyek strategis dan ambisi Tiongkok adalah Belt and Road Initiative (BRI), dimana Beijing berusaha untuk mengintegrasikan Eurasia dengan membangun jalan lintas benua dan rel kereta api, membangun rute logistik baru yang memungkinkan barang masuk dan keluar dari China.
“Bukan hanya itu, Beijing juga butuh energi dari minyak menggerakkan mesin-mesin proyek mereka disejumlah wilayah yang diklaim Tiongkok miliknya, seperti pulau-pulau di Laut China Selatan,” tutur Furqan Raka.
Selain untuk menggerakkan mesin-mesin proyek pembangunan, DPP PII menyebut infrastruktur serta peralatan militer China mulai kapal perang hingga pesawat tempur yang sering berseliweran dikawasan Laut China, juga memerlukan energi yang berasal dari minyak bumi.
DPP PII mengingatkan pemerintah Afganistan agar tidak terjebak dengan kerjasama dengan China, yang banyak dinilai oleh negara-negara dunia sebagai jebakan hutang.
Tercatat saat ini ada lebih dari 40 negara berpenghasilan rendah dan menengah, memiliki utang ke China lebih dari 10 persen dari PDB mereka. Sementara itu, ada juga Djibouti, Laos, Zambia, dan Kirgistan memiliki utang ke China yang setara dengan setidaknya 20% dari PDB tahunan mereka.
Hutang-hutang dari pihak BUMN, bank, serta usaha patungan atau lembaga swasta China ini lah yang kemudian dianggap sebagai "jebakan utang" atau "utang tersembunyi".
Sebab, sebagai mana diketahui, China tidak mempublikasikan catatan pinjaman luar negerinya, dan sebagian besar kontraknya mengandung klausul non-disclosure yang mencegah peminjam mengungkapkan isinya.
“Hati-hati dengan tawaran perjanjian kerjasama dengan China, bisa jadi ini jebakan hutang, seperti yang menimpa beberapa negara dunia,” pungkas Furqan Raka.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement