Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

LockBit Akui Retas Sistem BSI, Eks Penyidik KPK: Ancaman bagi Sistem Perbankan Indonesia

LockBit Akui Retas Sistem BSI, Eks Penyidik KPK: Ancaman bagi Sistem Perbankan Indonesia Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Usai lumpuh total hampir lima hari, Bank Syariah Indonesia (BSI) diduga menjadi korban serangan LockBit 3.0 yang menyebabkan gangguan layanan perbankan ATM maupun mobile banking sejak Senin (08/05) lalu. Dilansir dari akun Twitter @darktracer_int LockBit mengklaim bahwa mereka berhasil meretas 15 juta data nasabah dan pegawai serta 1,5 terabyte internal data.

“Geng ransomware LockBit mengklaim bertanggung jawab atas gangguan semua layanan di Bank Syariah Indonesia, menyatakan bahwa itu adalah hasil dari serangan mereka. Mereka juga mengumumkan telah mencuri 15 juta catatan pelanggan, informasi karyawan, dan sekitar 1,5 terabyte data internal,” tulis dalam cuitan tersebut pada Sabtu (13/05/23).

 Baca Juga: Pengamat Ekonomi Yanuar Rizky Sebut BSI Alami 'Off-side Berat'

Selain itu, geng peretas (hacker) juga mengancam apabila negosiasi gagal dilakukan, maka mereka akan menyebarkan data tersebut ke situs gelap.

“Mereka lebih lanjut mengancam akan merilis semua data di web gelap jika negosiasi gagal,” jelasnya.

Menanggapi hal tersebut, eks penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Aulia Postiera menyatakan bahwa ransomware (perangkat pemeras) merupakan kejahatan siber yang sudah berkemang pesat semenjak munculnya internet. Ransomware membuat pemilik tidak bisa mengakses data yang mereka punya.

“Jadi dalam dunia kejahatan siber, ada beberapa istilah kejahatan yang salah satunya itu ransomware ini. Ransomware itu kalau dari asal katanya artinya adalah tebusan. Jadi ransomware itu kalau dibahasakan secara sederhana itu semacam malicious software (perangkat yang berbahaya) yang mengenkripsi data pihak data yang diserangnya sehingga pemilik data tersebut tidak bisa mengakses data tersebut. Ini kejahatan yang sudah lama terjadi semenjak internet berkembang luas pada tahun 1990-an,” jelas Aulisa Postiera, dikutip dalam kanal Youtube Novel Baswedan pada Minggu (14/05/23).

Sementara itu, untuk dapat mengakses datanya kembali, pemilik data harus melakukan negosiasi berupa tebusan kepada peretas, biasanya menggunakan Bitcoin agar tidak terlacak. Aulia Postiera menambahkan bahwa ransomware merupakan ancaman siber terbesar kepada perusahaan-perusahan, terutama yang bergerak di sektor perbankan dan informatika.

“Dengan ransomware itu kalau kita bayar maka dia akan berikan semacam kunci dan software untuk mendekripsinya setelah dibayar, biasanya dalam bentuk Bitcoin. Jadi sebenarnya ransomware itu memang kejahatan siber yang paling berbahaya dan jadi keresahan banyak pihak terutama industri-industri besar,” katanya.

Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa kejahatan siber ransomware sulit untuk diselidiki karena peretas biasanya berada pada wilayah yurisdiksi yang berbeda.

“Secara teknis kejahatan-kejahatn siber ini sulit terungkap. Contohnya, mereka bisa saja menyerang bukan di Indonesia, dia berada di yurisdiksi lain. Dan dalam beberapa kasus yang dirilis oleh FBI, hacker-hacker itu ada yang disponsori oleh negara, tujuannya untuk bikin rusuh negara dan mencari duit. Selain Itu ketika dilakukan pembayaran ransomware tadi, pembayaran tersebut dilakukan dengan Bitcoin sehingga sulit terdeteksi,” katanya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Novri Ramadhan Rambe
Editor: Muhammad Syahrianto

Advertisement

Bagikan Artikel: