Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Peneliti Politik BRIN Soroti Demokrasi Rasional Kini Jadi Terdampak

Peneliti Politik BRIN Soroti Demokrasi Rasional Kini Jadi Terdampak Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Peneliti senior dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor menilai krisis konstitusi yang terjadi saat ini akan membawa dampak serius pada kehidupan demokrasi ke depan.

Politik dinasti, kata Firman Noor, untuk melanggengkan orang dalam keluarga Presiden Joko Widodo berpotensi akan menghancurkan iklim demokrasi rasional di Indonesia.

Hal itu terkait dengan Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini yang tengah disorot atas Putusan MK 90/PUU-XXI/2023 lantaran dinilai sarat dengan nepotisme. Presiden Joko Widodo disebut punya andil dalam putusan tersebut. 

Ditambah lagi salah satu hakim konstitusi, Anwar Usman, mempunyai hubungan kerabat dengan Jokowi.

Sehingga muncul penilaian putusan itu untuk memuluskan langkah Gibran Rakabuming Raka sebagai kontestan dalam Pilpres 2024.

Firman Noor mengungkapkan dampak mengerikan dari kondisi saat ini ketika dibiarkan berlarut adalah hancurnya demokrasi rasional.

"Ya hancurnya demokrasi rasional," tegas Firman Noor saat dihubungi pada Selasa (7/11/2023).

Menurutnya, demokrasi dibangun berlandaskan rasionalitas, bukan ikatan kekeluargaan atau keturunan.

"Kalau seseorang secara rasional dari sisi pengalaman lebih banyak, kemampuan lebih baik, lebih teruji itu harus. Kalau dari anak kemarin sore simply (hanya karena) punya DNA yang sama dengan penguasa, itu demokrasi apa? Saya tidak mengerti itu,” jelasnya.

Menurut dia, yang terjadi di Indonesia adalah politik dinasti. Para elite hanya bekerja atas dasar kepentingan mereka sendiri, tanpa mempertimbangkan pilihan masyarakat banyak, tanpa mempertimbangkan kehidupan politik di masa depan.

"Yang terjadi saat ini adalah ada proses yang nir-partisipasi dalam penentuan pengkandidasian orang-orang yang berhak maju atau tidak. Penentunya di sini, sayangnya adalah ikatan keluarga. Porsi ikatan keluarga lebih besar, bukan pertimbangan yang lain-lain," pungkasnya.

Sebelumnya, profesor Politik Islam Global asal Australia, Greg Barton mengatakan langkah Jokowi melakukan segala cara untuk meloloskan anaknya sebagai Cawapres sebagai tindakan yang terburu-buru.

"Sayang sekali dia (Jokowi) mau campur tangan dalam urusan keluarga. Kalau bisa lebih sabar, pasti orang tidak keberatan kalau anaknya dikasih dan disiapkan untuk masa depan. Tapi, ini seolah terlalu terburu-buru," tegas Greg dalam podcast yang dipandu Akbar Faisal.

Dia menilai, putusan MK beberapa waktu lalu itu banyak membuat orang kecewa. Kemudian, hal ini berdampak pada wajah demokrasi di Indonesia.

"Dalam beberapa hal ada pemerosotan demokrasi di bawah pemerintahan Pak Jokowi,“ tuturnya.

Kekuatan Penuh

Sementara itu, Pengamat Politik Adi Prayitno mengatakan, meski ditinggal kawan lama, namun sikap Presiden Jokowi jelas.

"Bagi Jokowi pasti jalan terus. Semua sudah terjadi. Gibran sudah daftar ke KPU berdampingan dengan Prabowo Subianto. Bagi Jokowi tak ada lagi melihat ke belakang," kata Adi.

Putra Jokowi, Gibran Rakabuming sudah maju sebagai cawapresnya Prabowo Subianto. Sebagai orang yang berkuasa, tentu Jokowi akan mengarahkan semua sumber daya untuk memenangkan anaknya.

"Fokus ke depan menangkan Gibran dengan semua resource yang ada. Terutama yang konsisten di barisan Jokowi. Sementara yang beda sikap pasti ditinggalkan," jelas Adi. 

Jokowi jalan terus, meski teman lama seperjuangan di PDIP meradang. Hubungan keluarga Jokowi dengan partai yang membesarkan, PDIP bagai api dalam sekam.

"Tidak ada yang mundur, tidak ada komunikasi. Tapi memang harus diakui bahwa saat ini Jokowi melawan pendukungnya sendiri yang selama ini pasang badan untuk membela Jokowi," tegas Adi lagi.

Menurut Adi, hubungan Jokowi dengan kawan lama, seperti mantan Walikota Solo, FX Rudi, tokoh PDIP Solo, Seno Kusumoharjo, atau bahkan para petinggi PDIP tidak baik-baik saja. Dan, retaknya hubungan mereka tidak menguntungkan Jokowi.

"Secara persepsi tak menguntungkan Jokowi. Karena mereka meninggalkan Jokowi bukan hanya dengan luka hati, tapi dengan mengkritik habis Jokowi. Meski kini Jokowi mendapat kawan baru dari koalisi baru (Koalisi Indonesia Maju), namun Jokowi kehilangan orang-orang yang setia pasti sangatlah merugikan," pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: