Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Golden Triangle Pembiayaan Tanpa Agunan

Oleh: Andika Sunandar, Pegawai pada Lembaga Pengelola Dana Bergulir KUMKM

Golden Triangle Pembiayaan Tanpa Agunan Ilustrasi: Wafiyyah Amalyris K
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pemerintah mulai geram dengan ulah perbankan yang lebih memilih membiayai usaha besar daripada UMKM, berbagai langkah ditempuh untuk menggenjot komposisi pembiayaan lembaga keuangan ke UMKM ke level 30% pada Tahun 2024, dari kondisi saat ini yang stagnan di level 20% sampai 21%. 

Belum cukup sampai disitu kegeraman tersebut berlanjut pada tahun 2023 ini, lembaga keuangan diintervensi dengan berlakunya Permenko Perekonomian Nomor 1 Tahun 2023, yakni menghapuskan agunan tambahan bagi peminjam KUR sampai dengan Rp 100 juta. 

Angka 100 (seratus) tersebut semakin viral dengan munculnya meme “pinjam dulu seratus” yang entah ada kaitannya atau tidak dengan kebijakan intervensi tanpa agunan pertama sejak program KUR digulirkan pada tahun 2007. Memang masalah agunan menjadi permasalahan nomer wahid ketika mengakses KUR (53%), disusul proses yang tidak pasti (37%) dan dipersulit oleh lembaga penyalur (10%) (Ombudsman, 2023). 

Dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, cara-cara konvensional perbankan dalam memberikan pembiayaan mulai tersubstitusi, perusahaan peer to peer (fintech) seperti “menggurui perbankan” dalam mengakuisisi ruang kosong kredit UMKM. Ruang kosong yang ditinggalkan Bank dengan cepat disergap oleh fintech dengan mengakuisisi 119 juta rekening debitur sejak tahun 2016. Sementara itu perbankan, yang konon katanya sudah beroperasi di Indonesia sejak 1746, hingga saat ini hanya mencetak 83 juta rekening debitur.

Perubahan iklim dunia menciptakan badai El-Nino yang lebih ganas dari tahun sebelumnya, bencana ini dapat mengancam harga komoditas dan berpotensi menciptakan krisis pangan, kisah 7 sapi kurus memakan 7 sapi gemuk pada zaman Nabi Yusuf bisa saja terulang. 

Pembiayaan kepada ekosistem klaster produk komoditas menjadi kunci untuk menciptakan surplus komoditas. Untuk mewujudkan pembiayaan yang ramah bagi ekosistem komoditas diperlukan terobosan kebijakan yang inovatif agar mendorong bank untuk berlari lagi, sehingga UMKM klaster dapat merasakan kemudahan akses program pembiayaan murah.

Ekosistem Klaster Komoditas

Ekosistem klaster adalah sebuah rantai proses produksi yang terdiri dari kelompok produsen dengan kelompok tingkatan pembeli besar di atasnya, yang memiliki ikatan kepastian pembelian baik secara tertulis maupun tidak tertulis. 

Dalam sebuah ekosistem klaster terjadi ikatan yang saling berhubungan di mana satu sama lainnya saling membutuhkan, petani tidak mungkin memproduksi komoditas tanpa dibeli oleh pembeli besar, Koperasi/Pengepul tidak mungkin mengumpulkan barang komoditas jika tidak ada kontrak pembelian dari pabrik. Begitu juga pabrik tidak akan bisa memproduksi tanpa adanya bahan baku. Atas ikatan rantai inilah tercipta invisible hand untuk melindungi masing-masing lini stakeholder di bawahnya atau di atasnya, misalnya ketika petani memerlukan pupuk maka petani meminta bantuan ke Koperasi/Pengepul dan Koperasi/Pengepul harus memiliki modal untuk membelikannya demi menjaga ketersediaan pasokan bahan baku.

Perbedaan sederhana antara lembaga keuangan konvensional dan fintech antara lain: Pertama, lembaga keuangan mengandalkan face-to-face dengan debitur untuk mempelajari kategori 5C. Sedangkan fintech mengutamakan pengalaman klien, aksesibilitas, personalisasi, dan fungsi dari masing-masing ekosistem. Kedua, lembaga keuangan melihat prinsip agunan harus memenuhi 3 unsur: dapat dinilai dengan uang dan dapat diuangkan, kepemilikannya dapat dipindahtangankan dengan mudah, dapat dimiliki secara keseluruhan agar mudah melakukan likuiditas. Sedangkan fintech mengutamakan pengalaman, personalisasi, aksesibilitas dan fungsi dalam sebuah ekosistem. Ketiga, aturan lembaga keuangan yang ketat membuat ekspansi portofolio terbatas. Sedangkan fintech diberikan ruang untuk fleksibel dengan menjunjung tinggi prinsip Know Your Customer (KYC), anti pencucian uang dan kejahatan keuangan lainnya.

Skema Pembiayaan Golden Triangle

Petani – Koperasi/Pengepul – Pabrik merupakan lingkar triangle yang terikat tanggung jawab dalam rantai pasok bahan baku komoditas, dengan level kapitalisasi modal dari yang terkecil (petani), sedang (Koperasi/Pengepul) dan besar (pabrik). Dalam aplikasi model pembiayaan ini harus memegang prinsip: Pertama, Pembiayaan dalam komoditas ini memerankan setiap level berkontribusi penting seperti emas (golden) yang tidak dapat dipotong dan sudah memiliki history cukup. Kedua, Level besar atau sedang harus bersedia berfungsi sebagai avalis atau penjamin dari aktivitas likuiditas di bawahnya demi menopang pasokan komoditas yang cukup. Ketiga, keterwakilan assesment dan penandatanganan nota kesepahaman ke perbankan yang diwakili oleh rantai di atasnya, misalnya jika petani yang akan dibiayai maka lembaga keuangan menilai kelayakan Koperasi/Pengepul, menandatangani nota kesepahaman dan setelahnya memberikan data petani yang akan dibiayai. Keempat, adanya corporate guarantee dan/atau sinking fund dari Koperasi/Pengepul sebesar 10% sampai 20% dari total kebutuhan pembiayaan petani, yang disimpan dalam akun tertentu sesuai kesepakatan antara Koperasi/Pengepul dan Lembaga Keuangan. Kelima, pola pembayaran/cicilan disesuaikan dengan siklus komoditas/usaha sehingga produksi dapat intensif dan fokus. Keenam: petani/Koperasi/Pengepul tidak menerima dalam bentuk uang, namun berbentuk barang yang dibutuhkan. Dengan penerapan skema ini akan tercipta keseimbangan tanggung jawab moral yang saling menjaga antar level, dengan prinsip yang besar melindungi yang kecil. 

Implementasi Skema Pembiayaan “Golden Triangle” ini dijalankan dengan langkah-langkah sebagai berikut: Pertama, Koperasi/Offtaker atau Pabrik mengajukan permohonan pembiayaan kepada lembaga keuangan sebagai avalis. Kedua, Lembaga keuangan melakukan assessment kelayakan usaha. Ketiga, Avalis melakukan perjanjian kerjasama dengan lembaga keuangan dan memberikan data level di bawahnya (petani atau Koperasi/Offtaker) calon debitur. Keempat, Avalis menyetorkan sinking fund sebesar 10% dari total kebutuhan. Kelima, Calon debitur mengajukan pembiayaan SAPROTAN kepada perbankan dengan syarat minimalis (KTP, KK dan/atau izin jika berbentuk badan). Keenam, Lembaga keuangan berakad dengan calon debitur. Ketujuh, Avalis melakukan pemesanan SAPROTAN secara bulking untuk kebutuhan SAPROTAN di bawahnya, dan mengirimkan ke petani (debitur). Kedelapan, Lembaga Keuangan mencairkan ke rekening debitur dan langsung dipindahbukukan ke rekening Avalis. Kesembilan, pembayaran ke lembaga keuangan dilakukan oleh Avalis pada waktu panen.

Beberapa lembaga keuangan telah menerapkan skema ini dalam produk KUR dengan penyaluran tanpa adanya agunan sama sekali bahkan hingga Rp500 Juta kepada petani, skema ini juga menciptakan NPL 0% (nol persen) di beberapa multifinance/fintech untuk produk komersial. Penerapan skema ini terhadap petani komoditas sangat dibutuhkan untuk mendorong petani mendapatkan bunga yang murah (KUR), kepastian mendapatkan SAPROTAN (benih, pupuk dan penunjang lainnya) dan meningkatkan daya saing produk petani.

Jika skema ini diterapkan sebagai skema pembiayaan nasional komoditas melalui program KUR Klaster, maka tahun 2024 mungkin angka 500 menjadi viral, meme “Pinjam dulu lima ratus” akan menjadi trigger pendongkrak produksi komoditas pendukung pangan, paling tidak peningkatan dari segi meme 100 menjadi 500 sudah merupakan langkah peningkatan. (AS).

*Pegawai pada Lembaga Pengelola Dana Bergulir KUMKM

**Penulis merupakan pemenang kedua pada Lomba Penulisan Artikel Opini yang diselenggarakan oleh Kementerian Koperasi dan UKM.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: