Dunia saat ini menghadapi tantangan besar dalam menyediakan energi yang bersih, terjangkau, dan berkelanjutan. Pengembangan energi terbarukan (EBT) seperti matahari, angin, air, dan panas bumi adalah langkah solutif untuk menjawab tantangan tersebut.
Namun pengembangannya juga tak mudah. Minimnya ketersediaan infrastruktur, teknologi dan kebutuhan dana investasi yang relatif lebih besar ketimbang energi fosil, kerap menjadi batu sandungan dalam mengakselerasi pengembangan EBT terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia.
"Karenanya, perlu komitmen yang kuat dari pemerintah dan para stakeholders terkait sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM)," tegas Komaidi Notonegoro, Pengamat Energi dari Reforminer Institute, dalam acara EITS DISCUSSION SERIES 2024: “Transformasi Hijau Menuju Masa Depan Energi yang Lebih Bersih dan Berkelanjutan." di Jakarta, Rabu (5/6/2024).
Baca Juga: Indra Karya Lakukan Kerja Sama BUMN Lintas Negara Garap Sumber Daya Air dan Energi Baru Terbarukan
Penegasan itu dibenarkan oleh Vice President Sustainability Program, Rating & Engagement PT Pertamina (Persero), Indira Pratyaksa. Ia mengungkapkan, bagi Pertamina melakukan dekarbonisasi dan juga menyediakan energi baru dan terbarukan untuk mulai mengganti energi fosil adalah sebuah tantangan yang harus dihadapi.
Menurutnya, Pertamina memiliki komitmen yang kuat terhadap energi keberlanjutan dengan menetapkan dua pilar strategis untuk mendukung aspirasi Net Zero 2060. Dua pilar utama tersebut yakni, pertama Dekarbonisasi antara lain efisiensi energi, pengurangan kerugian (misalnya, suar, metana), pembangkit listrik ramah lingkungan, peralatan statis elektrifikasi, bahan bakar nol karbon atau rendah untuk armada termasuk melalui elektrifikasi, portofolio aktif peningkatan, dan pengembangan energi lain.
Pilar kedua adalah Bisnis Rendah Karbon & Pengimbangan Karbon antara lain, teknologi Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS), Solusi Berbasis Alam-Ekosistem, Solusi Berbasis Ekosistem (NEBS), Bisnin Pasar karbon, Panas bumi, Matahari, Angin, - Bahan Bakar Nabati, Hidrogen Biru & Hijau, Baterai & Ekosistem Kendaraan Listrik.
Dampak dari panas bumi tidak hanya dibidang lingkungan, tapi juga di bidang sosial. Indira mengatakan, melalui fokus berkelanjutan, Pertamina telah menginisiasi berbagai program atara lain dengan membangun 85 Desa Energi Berdikari (DEB) di seluruh Indonesia yang disupport dengan energi terbarukan.
“Masyarakat desa mandiri energi baru dan terbarukan ini telah memapar hingga 4.153 KK, Masyarakat desa energi berdikari ini menjadi mandiri di bidang energi maupun mandiri secara finansial,” jelasnya.
Chief Executive Officer (CEO) Pertamina NRE, Jhon Eusebius Iwan Anis mengatakan, saat ini masyarakat tengah berada di masa transisi energi dimana harus tetap menggunakan energi yang ada yang jumlahnya terus meningkat tetapi harus dengan dekarbonisasi.
Baca Juga: Pertamina dan PLN Optimalkan Kapasitas PLTP untuk Percepat Transisi Energi Indonesia
“Jadi energi fosil yang ada harus di dekarbonisasi, dengan volume bertambah namun dikurangi karbonnya. Di sisi lain kita mulai mengurangi peran dari energi fosil ini dengan energi baru dan terbarukan. Kenyataannya kita kalau besok pakai hydrogen bisa, mungkin tidak ada masalah, tetapi lebih mahal, siapa yang mau pakai dan nggak ada yang mau beli juga,” paparnya.
Jadi, lanjutnya, tantangannya adalah bagaimana membuat energi terbarukan ini lebih ekonomis. Sehingga dekarbonisasinya bisa lebih ekonomis, dalam arti harga energy fosil yang sudah di dekarbonisasi tidak lebih mahal dan juga energy terbarukan ini juga bisa lebih kompetitif harganya.
Komaidi menambahkan, transisi energi ini sangat baik, namun disayangkan analisisnya sering kali hanya berhenti pada aspek lingkungan saja. “Tapi, setelah itu kita masuk ke aspek UUD alias ujung-ujungnya duit, bisa beli atau tidak, itu sering kali berhenti,” tegasnya.
Bicara EBT, menurutnya, ketika sudah bersentuhan dengan daya beli, inflasi, akan terhenti. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di negara-negara maju. Dia mencontohkan, saat awal perang Rusia-Ukraina, Inggris dan Jerman kembali menyalahkan PLTU mereka lantaran sanksi yang mereka berikan terhadap Rusia.
Kala itu, Rusia memberi sanksi balik, dengan mengurangi alokasi atau menghentikan pasokan gas di saat masyarakat kedua negara tak lagi bicara soal lingkungan tetapi kehidupan secara menyeluruh.
Baca Juga: Untuk Indonesia, Migas Akan Berperan Penting Menuju NZE 2060
“Kalau listrik naik 10 kali lipat dibandingkan tarif normal, apa yang terjadi? Yang tejadi adalah resiko ekonomi dan sosial. Karena itu kita harus hati-hati. Saya sampaikan ini bukan untuk pesimis, tetapi perlu bijaksana, kita perlu helicopter view yang lebih tinggi melihat petanya lebih luas lagi,” jelasnya.
Data dari Reformainer Institute menyebutkan, jika semua minyak dan batu bara dikonversi menggunakan gas, penurunan emisinya setara dengan target penurunan emisi di sektor energy tahun 2030 sebesar 314 juta ton. “Kalau itu semua dikonversi, sudah sampai angka 319 juta ton. Artinya lebih besar dari target di sektor energi,” ucapnya.
Jika bicara NZE, itu artinya semua sektor, tapi dia justru mempertanyakan, sebab kenyataannya Indonesia hanya fokus pada transisi energi. Kemudian, jika bicara data, dari tahun 2000 – 2022 emisi yang dihasilkan sektor energi di Tanah Air hanya 18 persen. “Artinya 82 persen dihasilkan oleh non sektor energi. Nah, bila kita hanya fokus pada prosentase itu maka NZE tidak akan tercapai,” imbuhnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fajar Sulaiman
Tag Terkait:
Advertisement