
Pemerintah menargetkan penerimaan dari cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) sebesar Rp 3,8 triliun pada tahun 2025. Meski angka ini tergolong kecil dibandingkan dengan target penerimaan perpajakan secara keseluruhan di tahun 2025, kebijakan ini tetap menjadi sorotan karena dampaknya yang luas terhadap industri dan menambah beban ekonomi masyarakat.
Menurut pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, tujuan utama dari pengenaan cukai MBDK adalah untuk pengendalian konsumsi, sebagaimana tertulis dalam nota keuangan APBN 2025. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa aspek penerimaan negara juga menjadi pertimbangan.
Terlebih, kata Fajry, penerimaan cukai dari industri hasil tembakau terus menurun, sehingga pemerintah mencari sumber pendapatan baru yang lebih berkelanjutan. "Kalau merujuk pada nota keuangan APBN 2025, pemerintah mengenakan cukai MBDK untuk pengendalian. Tetapi, tidak bisa kita pungkiri juga kalau ada aspek budgetair atau penerimaan," ujarnya, ketika dihubungi Senin (17/2/2025).
Baca Juga: Bakal Naikkan Harga hingga 30%, Apindo: Perlu Masa Transisi untuk Kebijakan Cukai MBDK
Fajry juga menekankan pentingnya masa transisi dalam penerapan kebijakan ini. Menurutnya, perlu ada grace period, di mana tarif cukai masih 0% agar produsen memiliki waktu untuk mengembangkan produk dengan kadar gula lebih rendah.
Selain itu, penerapan tarif awal sebaiknya tidak terlalu tinggi agar dampaknya terhadap industri dapat terpantau dengan baik. Ia juga menyoroti pentingnya mempertimbangkan kondisi ekonomi tahun 2025, termasuk daya beli masyarakat.
"Dan di awal implementasi pemerintah perlu hati-hati. Tarifnya jangan tinggi. Kita lihat dampak pengenaan tarif terhadap industri maupun efektivitasnya dalam pengendalian," kata dia.
Menurutnya, jika kebijakan ini diterapkan secara tergesa-gesa, dikhawatirkan akan berdampak negatif pada daya beli dan menambah beban ekonomi masyarakat, terutama di tengah tingginya risiko politik di awal pemerintahan Prabowo Subianto.
"Kita dapat lihat dari banyak kebijakan yang ditarik kembali. Dari kenaikan tarif PPN, gas 3 Kg, sampai efisiensi anggaran. Niatnya baik tapi malah backfire ke pemerintah. Jadi perlu hati-hati. Waktunya perlu tepat, caranya juga perlu tepat," kata dia.
Sementara itu, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, menyoroti polemik terkait cukai MBDK dalam konteks pemulihan daya beli. Menurutnya, kebijakan ini memang bertujuan untuk mengendalikan konsumsi gula demi kesehatan masyarakat, namun harus diterapkan secara bertahap agar tidak mengganggu industri makanan dan minuman.
Baca Juga: Minuman Manis Bakal Kena Cukai, Gimana Nasib Mayora (MYOR) dan Sido Muncul (SIDO)?
"Itu memang masih jadi polemik ya. Memang terutama di industri minuman punya implikasi kepada harga makanan dan minuman, sehingga harusnya juga mempertimbangkan kemampuan, masih bisa dibeli lah," kata dia.
Dalam praktiknya, penerapan cukai MBDK akan berdampak pada harga produk di pasaran. Oleh karena itu, studi mengenai daya beli masyarakat dan elastisitas harga perlu dilakukan agar kebijakan ini tidak menimbulkan resistensi yang berlebihan. Konsumen yang merasa harga minuman berpemanis meningkat tajam bisa saja mengurangi konsumsi mereka, yang pada akhirnya dapat berdampak pada sektor industri.
"Jadi penerapannya harus bertahap, jangan kemudian sampai mematikan industri. Apalagi industri makanan dan minuman merupakan salah satu yang juga penting di kita. Bahwa akan ada kenaikan harga itu tidak bisa dihindari," kata Eko.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fajar Sulaiman
Tag Terkait:
Advertisement