Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Indonesia Ogah Balas Tarif Trump, Pilih Negosiasi Demi Ekonomi!

Indonesia Ogah Balas Tarif Trump, Pilih Negosiasi Demi Ekonomi! Kredit Foto: Cita Auliana
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pemerintah Indonesia menegaskan tidak akan melakukan tindakan retaliasi terhadap kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan Amerika Serikat, dan memilih pendekatan diplomasi serta negosiasi untuk merumuskan solusi yang saling menguntungkan. Langkah ini dinilai lebih strategis demi menjaga hubungan bilateral, stabilitas ekonomi nasional, dan iklim investasi yang kondusif.

“Indonesia menyiapkan rencana aksi dengan memperhatikan beberapa hal, termasuk impor dan investasi dari Amerika Serikat,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dalam Rapat Koordinasi Terbatas Lanjutan yang digelar secara virtual, Minggu (6/4).

Pemerintah terus melakukan koordinasi lintas kementerian dan lembaga, serta menjalin komunikasi dengan United States Trade Representative (USTR), U.S. Chamber of Commerce, dan negara mitra lainnya. Koordinasi ini bertujuan memastikan kebijakan yang diambil mempertimbangkan seluruh aspek dan selaras dengan kepentingan nasional.

Baca Juga: Langkah BI Antisipasi Dampak Kebijakan Tarif Trump

Langkah diplomasi ditempuh untuk menghindari eskalasi yang dapat merugikan sektor industri padat karya berorientasi ekspor seperti industri apparel dan alas kaki. Kedua sektor ini dianggap paling rentan terhadap tekanan pasar global. Pemerintah pun menyiapkan berbagai insentif yang tepat sasaran guna menjaga daya saing dan keberlangsungan usaha.

Tarif resiprokal Amerika Serikat akan mulai berlaku 9 April 2025. Beberapa produk yang dikecualikan dari tarif tersebut meliputi barang medis dan kemanusiaan, produk strategis seperti tembaga, semikonduktor, produk kayu, farmasi, logam mulia (bullion), serta energi dan mineral tertentu yang tidak tersedia di AS. Produk yang telah dikenai tarif di bawah Section 232 seperti baja, aluminium, mobil, dan suku cadangnya juga dikecualikan.

Menko Airlangga mengungkapkan bahwa Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan agar Indonesia mengirimkan surat resmi sebelum batas waktu 9 April 2025. Ia menegaskan bahwa tim teknis terus bekerja di bawah payung deregulasi sebagai tindak lanjut dari hasil Sidang Kabinet bulan Maret.

“Karena ini masih dinamis dan masih perlu working group untuk terus bekerja, Bapak Presiden minta kita bersurat sebelum tanggal 9 April 2025,” jelas Airlangga.

Baca Juga: Efek Domino Tarif Trump, Ini Alasan Resesi Global Bisa Terjadi di 2025

Pemerintah juga akan menggelar forum sosialisasi dan penjaringan masukan dengan asosiasi pelaku usaha pada Senin (7/4), guna memastikan partisipasi sektor industri dalam penyusunan kebijakan. Pertemuan ini akan difokuskan pada sektor ekspor dan industri padat karya.

“Besok seluruh industrinya akan diundang untuk mendapatkan masukan terkait dengan ekspor mereka dan juga terkait dengan hal-hal yang perlu kita jaga terutama sektor padat karya,” tambah Airlangga.

Sebagai langkah antisipatif jangka panjang, Pemerintah turut menyiapkan strategi untuk mendorong pembukaan pasar Eropa, yang merupakan pasar terbesar kedua setelah China dan Amerika Serikat.

“Ini juga bisa kita dorong, sehingga kita punya alternatif market yang lebih besar,” pungkas Airlangga.

Baca Juga: Harmonisasi Biodiversitas dan Perkebunan Sawit

Baca Juga: Minyak Sawit Mampu Menopang Kebutuhan Minyak Nabati Dunia

Rakortas turut dihadiri oleh Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM Rosan Perkasa Roeslani, Menteri Perdagangan Budi Santoso, Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar, serta sejumlah wakil menteri dan perwakilan kementerian/lembaga terkait.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri

Advertisement

Bagikan Artikel: