Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Tarif, Kata yang Paling Disukai Trump Ternyata Berasal dari Peradaban Islam

Tarif, Kata yang Paling Disukai Trump Ternyata Berasal dari Peradaban Islam Kredit Foto: Reuters/Tom Brenner
Warta Ekonomi, Jakarta -

Akademisi dari University of Melbourne, Prof Nadirsyah Hosen memberikan catatan tentang asal usul kata "tarif" yang saat ini sedang ditakutkan oleh pemerintah Indonesia.

Dalam catatan sejarah, menurut Gus Nadir, sapaan akrab Nadirsyah- sebenarnya kata "tarif" itu diambil dari bahasa Arab.

Dan berikut catatan lengkapnya disitat dari akun Instagramnya:

Sejarah Tariff, Trump, dan Dunia Islam

Trump pernah berkata, tariff adalah kata paling indah dalam kamus. Bukan love, bukan peace, tapi tariff. Ironisnya, kata yang membuat senyum di wajah Trump, justru membuat wajah Indonesia memerah—bukan karena cinta, tapi karena terasa seperti dipalak di muka umum.

Baru-baru ini, produk tekstil dan garmen Indonesia dikenai tarif masuk hingga 32% bahkan 47% ke pasar Amerika. Ini bukan sekadar angka di atas kertas. Ini tamparan bagi industri padat karya, yang menjadi napas jutaan keluarga pekerja dari kelas menengah ke bawah.

Yang lebih getir, kata tariff sendiri berasal dari bahasa Arab taʿrīf (تعريف)—yang berarti penjelasan atau pemberitahuan. Dr Canan Torlak, sejarawan ekonomi dari Istanbul, mencatat bagaimana istilah ini menelusuri jejak dunia Islam: dari Arab ke Persia, ke Turki Utsmani, lalu berlayar ke Eropa—menjadi tariffa dalam bahasa Italia, tarif dalam Prancis, hingga akhirnya tariff dalam Inggris.

Dalam catatan Ottoman, taʿrīfa adalah daftar bea tetap yang biasa ditemukan di pelabuhan dari Istanbul hingga Alexandria—dibaca oleh para pedagang Eropa yang datang membawa dagangan dan harapan.

Pada abad ke-16, Kesultanan Utsmani menetapkan tarif resmi: pedagang asing dikenai 5–7%, non-Muslim lokal 3–4%, dan Muslim hanya 2–3%. Tarif bukan sekadar angka; ia adalah bahasa politik, tentang siapa yang dilindungi, siapa yang diuji.

Kini, Indonesia—negara Muslim terbesar di dunia—justru ditekan lewat sistem yang akarnya lahir dari peradaban Islam. Bedanya, kini tarif bukan lagi alat keadilan, tapi alat kepentingan.

Karena dalam dunia dagang, tariff adalah cara kekuasaan bicara. Dan kekuasaan itu telah pindah panggung—dari Istanbul ke Washington.

Sejarah tak pernah mati—ia hanya mengganti kostumnya, lalu tampil dalam lakon yang berbeda. Dan di balik tiap adegannya, selalu ada ironi: kata yang lahir dari pelabuhan yang terbuka, kini dipakai untuk menutup dunia.

Dan kalau ada yang bilang solusinya kembali ke khilafah, itu seperti fans MU yang yakin era Sir Alex akan datang kembali—nostalgia manis yang berubah jadi halusinasi akut.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: