Tuna RI Berpotensi Sulit Bersaing di Pasar Global Jika Kapal Penangkap Tak Pakai VMS
Kredit Foto: Antara/Basri Marzuki
Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Trian Yunanda mengungkapkan Organisasi pengelolaan perikanan tuna Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) mewajibkan pemasangan vessel monitoring system (VMS) pada kapal-kapal penangkap tuna yang beroperasi di wilayah Samudera Hindia.
Trian menyampaikannya dalam talk show Bincang Bahari di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jakarta Pusat, Rabu (30/4).
Baca Juga: Presiden Prabowo Terima Kunjungan Utusan Khusus PM Jepang Fumio Kishida di Kertanegara
VMS diwajibkan untuk memastikan kepatuhan penangkap dari praktik illegal unreported unregulated fishing (IUUF).
“Ini sudah diatur dalam resolusi 15/03, dimana VMS wajib digunakan oleh kapal-kapal tuna. Jadi ayo sama-sama kita benahi, VMS itu wajib, supaya hasil tangkapan teman-teman bisa berdaya saing,” ungkapnya, dikutip dari siaran pers KKP, Senin (5/5).
KKP dalam membuat aturan VMS di dalam negeri menyesuaikan aturan internasional. Hal ini sebagai komitmen pemerintah menjaga keberlanjutan ekosistem, melawan IUUF, serta meningkatkan daya saing hasil perikanan Indonesia di pasar global. Dengan adanya VMS, sistem pengawasan kapal penangkap ikan menjadi lebih optimal.
Trian juga meluruskan bahwa penggunaan VMS saat ini hanya diwajibkan untuk kapal berizin pusat, bukan untuk kapal nelayan kecil. “VMS itu untuk kapal komersial, yang digunakan pelaku usaha, kapal 30 GT keatas, atau di atas 10 GT yang nangkap ikan di atas 12 mil laut,” terangnya.
Berkat adanya peningkatan kepatuhan Indonesia termasuk dalam melaksanakan program VMS, Indonesia berhasil menambah kuota tangkapan tuna dalam sidang ke-29 IOTC di La Reunion, Prancis beberapa waktu lalu.
Diplomasi delegasi Indonesia yang dipimpin KKP berhasil menyakinkan IOTC sehingga memperoleh tambahan kuota tangkapan untuk tiga jenis tuna.
Rinciannya kuota tangkapan big eye dari 2.791 ton menjadi 21.396 ton untuk periode 2026-2028, skipjack tuna (cakalang) menjadi 138.000 ton, dan yellowfin tuna yang disepakati menjadi 45.426 ton untuk tahun 2025.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin) Muhammad Billahmar mengajak semua pihak untuk ikut aturan main. Penangkapan tuna, ujarnya, tidak diatur oleh tiap negara melainkan secara regional.
Meski saat ini masih terjadi penolakan penggunaan VMS, dia berharap segera ada jalan tengah agar seluruh kapal khususnya penangkap tuna memiliki perangkat teknologi satelit tersebut. Jika tidak ikut aturan, tuna Indonesia berpotensi sulit bersaing di pasar global.
“Mau tidak mau karena ini sudah aturan, dari RFMO juga ya harus diikuti, kalau tidak nanti dampaknya ke pasar,” ungkap Billahmar.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ulya Hajar Dzakiah Yahya
Editor: Ulya Hajar Dzakiah Yahya
Tag Terkait:
Advertisement