Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Menumpahkan Unek-Unek di FONAP Berlin

Menumpahkan Unek-Unek di FONAP Berlin Kredit Foto: Abdul Aziz
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sabarudin sudah kembali ke Jakarta awal pekan ini. Apa yang menjadi unek-uneknya telah dia tumpahkan dalam pertemuan Forum Nachhaltiges Palmöl (FONAP) di Berlin, Jerman, pekan lalu. 

FONAP yang sudah berumur satu dekade ini adalah forum yang beranggotakan lebih dari 50 lebih pebisnis, Asosiasi, Non Government Organization (NGO), Kementerian Pangan dan Pertanian Jerman dan Kementerian Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan Jerman.    

Tujuan utamanya, mendorong penggunaan minyak sawit berkelanjutan dari rantai pasok perkebunan yang lestari; ramah lingkungan dan berkemanusiaan. 

"Sebetulnya, sejak lama petani sawit kami sudah melakukan praktik berkebun sawit yang berkelanjutan. Jadi, jangan dianggap mereka itu penyebab deforestasi. Sebab meski di antara mereka ada yang berada di dalam kawasan hutan, tapi mereka sudah menguasai lahan secara turun temurun," tegas suara Ketua Umum Serikat Petani Kelapa Sawit (Ketum-SPKS) ini saat didaulat berbicara. 

Dari balik podium, lelaki 35 tahun ini mengedarkan pandangannya kepada wajah-wajah yang hadir. "Oleh karena itu, saya berharap, anggota FONAP mau membeli kredit petani kami dan FONAP juga mau memfasilitas agar perusahaan di Eropa juga membeli kredit itu," pintanya masih memandangi hadirin. 

Tak berlebihan bila Sabarudin menyodorkan permintaan itu. Sebab pasar Eropa lah yang menciptakan skema pasar semacam itu.

"Sekarang ini kan kredit petani kami nggak bisa dijual. Kredit ini semacam poin bernilai uang dari hasil kepatuhan petani atas praktik perkebunan sawit yang berkelanjutan tadi," cerita Sabarudin saat berbincang dengan wartaekonomi, kemarin. 

Saat ini kata Sabarudin, ada miliaran rupiah kredit petani sawit SPKS yang tak kunjung laku. Kredit itu milik 10 koperasi beranggotakan sekitar 3000 petani yang tersebar di 6 provinsi di Indonesia. 

"Mereka (pembeli Eropa) kayak enggak bertanggungjawab gitu lah. Petani sudah capek-capek mengurus sertifikasi, tapi kreditnya enggak dibeli," ujarnya. 

Lebih jauh jebolan Universitas Haluoleh Kendari dan Trisakti ini cerita, kredit tadi dari hasil petani mengantongi Sertifikat Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO)

Untuk mendapatkan sertifikat itu, setiap petani musti merogoh kocek antara Rp2jt hingga Rp3juta. Duit sebanyak itu untuk biaya pendataan, pelatihan dan kelembagaan serta membangun High Impact Conservation Sites (HICS)

Di luar itu, tiap tahun, setiap koperasi juga musti menyetor duit sekitar Rp150 juta hingga Rp200 juta kepada Lembaga Sertifikasi. 

Biasanya, masing-masing koperasi beranggotakan sekitar 300 petani dengan luas lahan 600 hektar. "Bagi petani, duit segitu tentunya tidak sedikit lah," katanya. 

Sayang, sampai Sabarudin kembali ke Tanah Air, dia belum mendapat jawaban yang mengenakkan atas permintaan pembelian kredit milik petani itu, meski para hadirin menyatakan tetap komit. 

Skema Integrasi Biar Petani Untung Langsung 

Bagi Sabarudin, pertemuan di Berlin itu menjadi teramat penting. Di sana, dia tidak hanya bicara soal penjualan kredit yang macet itu, tapi berupaya untuk menguatkan keberadaan petani sawit di tengah rantai pasar Eropa.   

Sebab selain Eropa adalah pasar minyak sawit Indonesia yang mencapai 3-5 juta ton per tahun, Benua Biru itu adalah bidan dari sustainability tadi dan kemudian diikuti oleh negara lain. 

"Kita ingin meminta pertanggungajwaban mereka, dukungan mereka. Sebab yang menikmati keuntungan dari sawit itu enggak hanya perusahaan di kebun, tapi juga perusahaan yang bahan baku produksinya berasal dari sawit. Salah satunya adalah Unilever yang keuntungannya mencapai USD691 miliar. Keuntungan semacam ini mustinya dibagi juga kepada petani. Ini kami suarakan ke mereka," ujarnya. 

SPKS juga kata Sabarudin mendesak perusahaan-perusahaan mereka meminta perusahaan yang menjual cpo ke mereka untuk membeli langsung dari petani. "Kita mendorong kemitraan jangka panjang," katanya. 

Memang kata Sabarudin, saat ini RSPO telah membuat skema pembelian secara integrasi; pembelian secara fisik yang menguntungkan langsung petani sawit. Tapi harganya harus premium, di atas harga pemerintah yang dikeluarkan disbun. 

Deputi Direktur Transformasi Pasar RSPO di Indonesia, Windrawan Inantha tak menampik apa yang dibilang oleh Sabarudin. 

Saat ini katanya, RSPO sedang menguji potensi integrasi petani swadaya bersertifikat RSPO ke dalam rantai pasokan fisik melalui kemitraan dengan perusahaan dan pabrik yang juga bersertifikat RSPO. 

Bekerja sama dengan IDH Indonesia, praktik itu sedang dijalankan di Aceh Tamiang, antara petani swadaya bersertifikat RSPO dengan PT Mora Niaga Jaya yang bersertifikat RSPO.

Lelaki 53 tahun ini menyebut, kolaborasi itu tidak hanya akan berfokus pada peningkatan keberlanjutan minyak sawit, tapi juga mengembangkan kemitraan inklusif yang bermanfaat bagi para pihak yang terlibat. 

"Saya mengajak semua pihak yang tertarik untuk mendukung inisiatif ini, termasuk SPKS. Biar petani swadaya 'naik kelas'. Sebab mereka akan bertransaksi dalam perdagangan fisik sawit berkelanjutan yang tertelusur," katanya. 

Sebetulnya, SPKS tidak hanya memperjuangkan nasib para petani sawit di luar negeri. Di dalam negeri,  organisasi yang secara nasional berdiri pada 2012 ini, juga terus menyuarakan agar pembiayaan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) menjadi tanggungjawab negara. 

"Kami juga terus menyuarakan agar kemitraan petani sawit dengan perusahaan, terus didampingi oleh pemerintah," ujar Sabarudin. 

 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz

Advertisement

Bagikan Artikel: