Kredit Foto: Istimewa
“Penelitian menyebutkan 70% orang tua memberikan handphone atau gawai kepada anak tanpa tujuan yang jelas. Ini yang salah. Selama gawai digunakan untuk belajar, membuat tugas, atau karya produktif, maka bisa dilakukan (pemberian gawai),” jelas Euis.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), Nisa Felicia mengingatkan adanya risiko di ruang digital yang bisa mendekatkan anak pada eksploitasi digital hingga menghambat perkembangan otak anak.
“Di Peraturan Pemerintah atau PP Tunas, kami mencatat ada tujuh (7) risiko utama, salah satunya adalah risiko bertemu orang tidak dikenal. Misalnya, anak sedang bermain game lalu di-chat orang asing, diajak berkenalan, bertemu, bahkan diminta mengirim foto pribadi. Risiko lainnya adalah kecanduan digital atau brainroot, yang bukan hanya membuat anak tidak bisa belajar hari ini, tetapi juga berdampak pada perkembangan otaknya,” tegas Nisa.
Upaya perlindungan anak di ruang digital menjadi tanggung jawab bersama, baik pemerintah, orang tua, pendidik, hingga penyedia platform digital. Anak-anak Indonesia harus dibekali literasi digital, lingkungan yang mendukung, dan akses terhadap teknologi yang sehat dan bertanggung jawab.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ulya Hajar Dzakiah Yahya
Editor: Ulya Hajar Dzakiah Yahya
Tag Terkait:
Advertisement