Kredit Foto: Rahmat Saepulloh
Proyek digitalisasi pendidikan nasional yang diinisiasi Kemendikbud Ristek lewat pengadaan jutaan Chromebook diduga menyimpan potensi pelanggaran sistemik. Skema pengadaan yang seharusnya bertujuan meningkatkan akses teknologi justru berpotensi menjadi jalan masuk ketergantungan negara terhadap satu perusahaan privat.
Indonesian Audit Watch (IAW) menilai persoalan yang lebih serius tidak berhenti di ranah transaksi pengadaan perangkat. Akar masalah justru terletak pada desain model bisnis yang menjadikan sistem digital pendidikan nasional terkunci di satu perusahaan swasta pemegang otoritas aktivasi perangkat berbasis Chrome OS.
Sistem yang dimaksud adalah Chrome Device Management (CDM), sebuah platform milik Google yang hanya dapat diakses melalui satu mitra eksklusif, yakni PT D. Perusahaan ini memiliki hak tunggal untuk melakukan aktivasi ribuan perangkat yang telah dibeli negara, sehingga tanpa campur tangan mereka, perangkat tersebut tidak dapat digunakan.
“Apakah metode ini benar atau disengaja sepertinya benar? Bukankah ini untuk menggiring kebijakan negara menjadi menyimpang dari yang seharusnya? Artinya, negara dipaksa terus bergantung pada satu entitas privat untuk membuka akses atas alat yang sudah dibeli negara,” ujar Sekretaris IAW, Iskandar Sitorus, Kamis (7/8/2025).
Biaya aktivasi yang dikenakan disebut-sebut berkisar Rp500.000 hingga Rp600.000 per unit, dan disisipkan dalam satuan harga pengadaan tanpa transparansi. Jika dikalikan dengan jutaan unit Chromebook, nilai tersembunyi itu diperkirakan mencapai lebih dari Rp1 triliun.
Baca Juga: Skandal Chromebook Bisa Ungkap Dugaan Pengaruh Global dalam Kebijakan Pendidikan
“Bukankah mudah bagi penyidik untuk memahaminya? Terlebih para penyedia yakni pemenang tender sudah memberi pengakuan lengkap di dalam BAP. Jadi tidak sulit lagi bagi penyidik Kejagung untuk membuktikannya, bukan?” tegasnya.
IAW menelusuri bahwa skema CDM ini bukan kebijakan mendadak, melainkan sudah disiapkan jauh sebelum Nadiem Makarim menjabat sebagai menteri. Ini menunjukkan bahwa pola bisnis telah dikondisikan sejak awal agar seluruh proses, mulai dari desain perangkat hingga aktivasi, hanya bisa dijalankan oleh satu perusahaan.
Meski merek-merek besar seperti Acer, Asus, dan Lenovo ikut dalam pengadaan, mereka tidak bisa menyalurkan langsung perangkat ke sekolah. Semua jalur distribusi harus melalui PT D, karena hanya perusahaan ini yang memiliki otoritas resmi untuk mengaktifkan perangkat menggunakan Google Admin Console.
“Ini bukan cuma pelanggaran etika, ini rekayasa sistemik,” tegas Iskandar.
Model semacam ini, lanjut Iskandar, diduga melanggar berbagai regulasi, termasuk UU Tipikor, UU Persaingan Usaha, UU Administrasi Pemerintahan, hingga UU Keuangan Negara karena menyebabkan inefisiensi penggunaan anggaran dan menciptakan ketergantungan sistemik negara terhadap entitas swasta.
“Dalam proyek pengadaan Chromebook oleh negara, publik kerap mengira ini hanya soal ‘beli laptop untuk sekolah’. Padahal sesungguhnya, negara sedang membeli sebuah sistem digital yang tidak bisa berjalan tanpa aktivasi melalui vendor tunggal,” katanya.
Baca Juga: Kejagung Dalami Investasi Google di Gojek, Ada Kaitan dengan Kasus Korupsi Chromebook?
Iskandar menjelaskan proses distribusi teknis yang terjadi di lapangan. Vendor pengadaan memesan perangkat ke prinsipal global. Namun saat tiba, perangkat masih dalam keadaan terkunci. Aktivasi hanya bisa dilakukan oleh PT D dengan mencocokkan serial number perangkat ke sistem Google.
“Tanpa tahap ke-3 (aktivasi CDM oleh D), maka seluruh proses berhenti. Perangkat tidak bisa dipakai. Perusahaan D satu-satunya gerbang sistem. Di titik ini, peran D bukan sekadar distributor,” ucapnya.
Iskandar mengungkapkan yang lebih memprihatinkan, kendati negara telah membayar seluruh perangkat, otoritas atas sistem sepenuhnya tetap berada di tangan swasta. Sekolah-sekolah, terutama di wilayah tertinggal, banyak yang hanya menjadi tempat penyimpanan perangkat yang belum bisa difungsikan karena tidak memiliki akses internet atau belum diaktivasi.
“Artinya, tanpa intervensi atau keberadaan D maka barang senilai triliunan itu tidak bisa menyala di ruang kelas. Lalu, masa D bisa cuci tangan dari kasus tersebut? Tentu tidak! Ini modus kejahatan di beberapa negara,” ungkapnya.
Sistem vendor-lock-in ini tidak hanya mengunci perangkat keras, tetapi juga lisensi, jaringan, hingga sistem administrasi, sehingga pemerintah sepenuhnya tergantung pada satu pintu akses. Lisensi Chrome Education Upgrade (CEU), misalnya, hanya bisa diaktifkan oleh PT D, membuat mereka menjadi satu-satunya pemegang kunci untuk seluruh sistem pendidikan berbasis digital nasional.
“Ini adalah model vendor-lock-in dalam bentuk paling sempurna dari sistem, lisensi, jaringan, hingga distribusi hanya dikendalikan oleh satu tangan,” katanya.
“Karena apa? Tanpa aktivasi, perangkat Chromebook tidak bisa dipakai. Tanpa internet stabil, CDM tidak jalan. Sekolah di daerah 3T jadi gudang perangkat mati. Jadi, ini bukan soal teknologi. Ini soal moralitas orang pengendali perusahaan!” tegasnya.
Iskandar juga menggarisbawahi bahwa serial number bukan sekadar kode teknis, melainkan identitas yang bernilai uang karena hanya perusahaan D yang bisa mengaktifkannya. Negara tidak memiliki master lisensi atau kontrol atas proses itu.
Baca Juga: Didampingi Hotman Paris, Nadiem Makarim Klarifikasi Soal Dugaan Korupsi Pengadaan Laptop Chromebook
“Halus sekali model menculik negara, bukan? Masa itu tidak disentuh penyidik? Justru itu akar masalah kasus Chromebook!! Bukan yang lain. Inilah kenapa penyidik harus memeriksanya, jangan hanya kontrak fisik, tapi juga logika bisnis di balik proyek tersebut. Ini bukan sekadar pengadaan, ini adalah model bisnis yang membajak kebijakan negara,” tegas Iskandar.
IAW mendorong agar proses penyelidikan diarahkan pada pembongkaran sistem bisnis yang dirancang secara tertutup dan mengunci akses negara terhadap sistem yang telah dibeli.
Mereka memberikan empat rekomendasi utama, di antaranya: audit menyeluruh oleh BPK dan BPKP terhadap penggunaan CDM dan biaya aktivasi sejak 2019–2024; KPPU menelusuri spesifikasi tender yang diduga dikunci hanya untuk satu vendor; KPK dan Kejagung memfokuskan penyelidikan pada skema bisnis, bukan hanya pengadaan; serta Kominfo dan BSSN mengambil alih kendali Google Admin Console untuk kepentingan kedaulatan data pendidikan nasional.
Iskandar menekankan bahwa bentuk korupsi masa kini bukan hanya markup atau suap, tapi perancangan sistem sejak awal agar negara tunduk secara legal pada model bisnis privat.
Baca Juga: Nadiem Makarim Diperiksa Lagi Soal Dugaan Korupsi Laptop, Kejagung: Ini Sangat Urgent
“Penyidik jangan hanya cari markup atau selisih harga. Bongkar siapa yang menyusun model ini sejak awal. Karena korupsi hari ini, seringkali bukan soal transaksi. Tapi soal perancangan sistem untuk merampok anggaran secara legal,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Amry Nur Hidayat
Advertisement