Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Perjalanan BCA dari Didirikan Salim Group, Diselamatkan Negara, hingga Dimiliki Djarum Group

Perjalanan BCA dari Didirikan Salim Group, Diselamatkan Negara, hingga Dimiliki Djarum Group Kredit Foto: BCA
Warta Ekonomi, Jakarta -

PT Bank Central Asia (BCA) berawal dari sebuah perusahaan dagang dan industri yang didirikan pada tahun 1955 oleh Liem Sioe Liong atau Sudono Salim, dengan nama NV Perseroan Dagang Dan Industrie Semarang Knitting Factory (Pabrik Rajutan Semarang). Dua tahun kemudian, tepatnya pada 21 Februari 1957, perusahaan tersebut resmi memulai operasionalnya sebagai bank, dengan kantor pusat pertama di Jakarta.

Nama "PT Bank Central Asia" baru mulai digunakan secara efektif pada 2 September 1975. Perubahan nama ini menjadi tanda pergeseran identitas BCA dari entitas industri menjadi institusi finansial yang berfokus pada layanan perbankan. 

Pada awal perkembangannya, BCA berfungsi sebagai tulang punggung finansial dengan menyediakan pendanaan bagi ratusan perusahaan internal Salim Group. Model ini terbukti efektif dalam menopang pertumbuhan bisnis, namun di sisi lain juga menjadikan BCA sangat bergantung pada jaringan internal.

Tonggak penting dalam kebangkitan BCA hadir ketika Mochtar Riady, bankir yang dijuluki "dokter perbankan," bergabung pada tahun 1975. Ia membawa serangkaian inovasi, mulai dari sistem online antar cabang hingga peluncuran produk tabungan Tahapan BCA yang kemudian menjadi ikon bank ini. Inovasi tersebut mendorong percepatan pertumbuhan BCA sebagai salah satu bank swasta terkemuka di Indonesia.

Dua tahun kemudian, pada 1977, BCA memperoleh lisensi sebagai bank devisa, yang memberinya kewenangan untuk melakukan transaksi valuta asing sekaligus memperluas jangkauan bisnis secara internasional.

Pada tahun 1998, krisis moneter Asia memicu bank rush di BCA, di mana ribuan nasabah menarik dana mereka secara bersamaan. Situasi ini diperburuk oleh kerusuhan Mei 1998, yang menargetkan BCA sebagai simbol kroni-kapitalisme. 

Untuk mencegah keruntuhan total, pemerintah mengambil alih BCA pada 28 Mei 1998 dan menjadikannya "Bank Take Over" (BTO) di bawah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Pemerintah, melalui BPPN, mengakuisisi 92,8% saham BCA sebagai ganti dukungan likuiditas dari Bank Indonesia dan pertukaran pinjaman bermasalah Salim Group dengan obligasi pemerintah.

Setelah menyehatkan BCA, pemerintah memulai proses privatisasi. Setelah divestasi melalui IPO pada tahun 2000 dan 2001, BPPN melepas 51% saham BCA melalui tender strategis pada tahun 2002. 

Konsorsium FarIndo Investment, yang merupakan gabungan antara Farallon Capital dan Djarum Group, memenangkan tender tersebut dengan nilai akuisisi US$530 juta. Djarum Group kemudian mengonsolidasikan kepemilikannya dengan membeli 92,18% saham Farallon di Farindo Investment pada tahun 2007, sehingga secara efektif menjadi pemilik mayoritas BCA.

Di bawah kepemilikan Djarum, BCA menjalani transformasi strategis dari bank yang berfokus pada kredit korporasi menjadi pemimpin perbankan transaksional yang melayani nasabah ritel secara luas. BCA berfokus pada volume transaksi yang tinggi dengan memperkuat jaringan ATM dan mengembangkan produk perbankan digital seperti KlikBCA dan m-BCA. 

Strategi ini terbukti sangat berhasil, menjadikan BCA bank swasta terbesar di Indonesia dengan total aset dan laba bersih yang tumbuh pesat secara signifikan.

Pada Agustus 2025, muncul wacana bahwa pemerintah melalui Sovereign Wealth Fund (SWF) Danantara Indonesia (juga disebut BPI Daya Anagata Nusantara) akan mengambil alih 51% saham BCA, dengan tujuan "menyelamatkan uang negara berkaitan dengan BLBI" Terkait kontroversi itu, BCA membantah tuduhan bahwa penjualan perusahaan pada masa sebelumnya telah merugikan negara. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: