Dinilai Minim Sosialisasi dan Rawan Salah Sasaran, Akademisi Kritik Langkah Kemenkes Terkait Satgas Iklan Rokok Digital
Kredit Foto: Ist
Satu tahun sejak diberlakukannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, kebijakan pengendalian iklan rokok di media digital dan media sosial menuai kritik dari kalangan akademisi. Langkah Kementerian Kesehatan (Kemenkes) membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pengendalian Iklan Rokok dinilai terburu-buru dan berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistem media daring.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menilai implementasi Pasal 446 dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 belum memiliki panduan operasional yang jelas. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan pemutusan konten secara serampangan dan tidak proporsional.
"Ibarat orang menebang pohon di hutan gelap tanpa lampu senter, kebijakan ini bisa menebas bukan hanya batang beracun, tetapi juga pepohonan sehat yang menopang ekosistem media dan ruang diskusi publik," tegas dia.
Achmad menyoroti bahwa PP 28/2024 tidak menjelaskan secara rinci definisi media sosial berbasis digital maupun batasan iklan rokok di platform terbuka seperti Instagram, TikTok, YouTube, atau media daring berbasis artikel. Ketidakjelasan ini, menurutnya, membuka ruang interpretasi yang terlalu luas dan berisiko menimbulkan kesalahan dalam pelaksanaan.
Baca Juga: PHK Massal Mengintai, Bupati Karawang dan Kudus Desak Moratorium Cukai Tembakau
Ia juga mempertanyakan kewenangan Kemenkes dalam mengatur konten digital secara langsung, serta menekankan pentingnya koordinasi lintas lembaga dan penyusunan SOP yang terukur sebelum kebijakan dijalankan.
"Pengalaman kita menunjukkan bahwa kebijakan yang diterapkan tanpa socialization dan readiness assessment berpotensi menimbulkan resistensi," paparnya.
Achmad juga mengingatkan bahwa pembatasan yang tidak proporsional terhadap konten digital dapat menimbulkan kerugian ekonomi, terutama bagi media daring dan kreator konten yang kehilangan pendapatan akibat konten mereka dihapus secara paksa, meskipun bukan merupakan promosi langsung produk tembakau.
"Publik perlu diyakinkan bahwa kebijakan ini berbasis data kesehatan publik dan evidence-based policy making, bukan semata keputusan moralistik atau tekanan anti-industri," tegasnya.
Kritik serupa disampaikan oleh Akademisi Universitas Lampung, Vito Frasetya. Ia menyoroti ketidakjelasan definisi promosi dan iklan rokok dalam kebijakan ini, serta ketidakkonsistenan dengan aturan di media konvensional seperti televisi.
"Misalnya, apakah iklan layanan kesehatan yang menyebutkan kadar rokok juga tidak boleh? Ini belum ada kejelasan," tanyanya.
Baca Juga: Skema Urun Biaya Masih Macet, BPJS Tunggu Turunan Aturan Kemenkes
Menurut Vito, pelaku industri media membutuhkan kejelasan teknis mengenai batasan konten yang dilarang. Ia menilai narasi kebijakan masih lemah dan belum memiliki panduan tunggal yang bisa dijadikan acuan.
"Apakah tidak boleh menampilkan produknya? Atau jenisnya? Atau ada batasan lainnya? Jadi belum jelas, narasinya belum kuat," keluhnya.
Ia juga menyoroti lemahnya sosialisasi kebijakan ini, yang menyebabkan banyak pelaku usaha di bidang media siber dan media sosial belum memahami substansi aturan tersebut.
"Dibutuhkan pula sosialisasi yang lebih luas agar ada pemahaman bersama dengan tujuan semua pemangku kepentingan bisa menjalankannya dengan cara lain yang lebih kreatif serta efektif dalam menanggulangi permasalahan kesehatan masyarakat," tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement