Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pertaruhan Seorang Didin

Pertaruhan Seorang Didin Kredit Foto: Abdul Aziz
Warta Ekonomi, Aceh Selatan -

Tapak Tuan menjadi tempat bagi Didin untuk menemukan jati diri baru; tanpa perkelahian, tanpa alkohol. 

Lelaki 22 tahun itu nampak tergesa-gesa menuju salah satu tenda yang baru dipasang di lapangan, persis di kaki Gunung Lampu Kota Tapak Tuan, ibukota Kabupaten Aceh Selatan Provinsi Aceh itu, Jumat dua pekan lalu. 

Orang-orang di sana, di kawasan Kampung Lhok Bengkuang itu, menyebut kalau lapangan tadi adalah lapangan Pemandian Kolam Aroya. Sebab kebetulan tak jauh dari lapangan itu ada kolam renang yang sumber mata airnya berasal dari kaki Gunung Lampu. 

Hari itu, seperti kebiasaan tahun lalu, Politeknik Aceh Selatan (Poltas) yang berkampus di bibir pantai teluk Tapak Tuan, akan menggelar Bimbingan Mental Fisik dan Disiplin (Bintalfisdis). 

Selama tiga hari tiga malam, 238 orang mahasiswa baru angkatan 2025 Poltas, bakal menjalani Bintalfisdis di sana. Antonius Didin, mahasiswa semester 3 jurusan Teknik Industri ini, menjadi salah seorang panitia di sana. 

Anak pertama dari dua bersaudara ini sebetulnya bukan mahasiswa reguler di kampus yang telah berdiri sejak 15 tahun silam itu. 

Tapi satu dari 30 mahasiswa dan mahasiswi program Beasiswa Sawit Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) angkatan 2024 yang berasal dari sejumlah provinsi yang ada di Indonesia. Tahun ini jumlah mahasiswa dan mahasiswi program yang sama diberikan ke kampus itu, melonjak 100 persen.

Urus Kebun Sawit Hingga Sempat Terdampar di Jalanan

Teramat panjang perjalanan yang dilalui lelaki asal Desa Mondi Kecamatan Sekadau Hulu, Kabupaten Sekadau, Provinsi Kalimantan Barat ini sebelum kemudian menjadi mahasiswa beasiswa sawit di sana. 

Pertama, dia tidak sama seperti teman-temannya yang begitu tamat SMA atau SMK, langsung ikut seleksi perguruan tinggi dan kemudian menjadi mahasiswa atau mahasiswi. 

Anak jati Dayak Sawe ini justru menganggur dulu dua tahun setelah menyelesaikan jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di SMA Karya di kawasan Sungai Ringin, Sekadau Hilir. 

Tujuh bulan pertama menganggur, lelaki yang doyan berkelana ke dalam hutan ini fokus mengurusi sehektar kebun kelapa sawit peninggalan ayahnya. 

Mulai dari melakukan pruning --- memangkas pelepah pohon kelapa sawit yang dianggap sudah tidak produktif --- widing --- pembersihan gulma --- panen hingga memupuk, dia lakukan sendiri. 

Lantaran serius diurusi, lebih dari 100 batang tanaman yang sudah berumur 11 tahun itu kata Didin, telah bisa menghasilkan 2 ton Tandan Buah Segar (TBS) dalam satu putaran panen. 

"Kami panen dua minggu sekali. Jadi, dalam sebulan kami bisa menghasilkan 4 ton," panjang lebar lelaki berambut gondrong ini bercerita kepada wartaekonomi di bawah tenda yang ada di lapangan itu, persis di antara kerumunan mahasiswa baru yang telah berdatangan dan berkumpul di sana.

Walau dapat hasil panen sebanyak itu ujar Didin, hasil penjualan TBS nya enggak masuk ke kocek emaknya, Teresia Jawai, tapi masih harus dibagi kepada orang yang membantu memanen. 

Lalu sebahagiannya ditabung pula untuk kelak membeli pupuk. "Soalnya setiap tiga bulan kan tanamannya harus dipupuk, biar hasilnya tetap banyak," Didin merinci.

Didin tidak malu mengakui bila dulunya dia bandel, pemabuk berat, sering berkelahi dan bahkan sempat pula menjadi bagian dari anak-anak punk di Sekadau. "Dua bulan saya jadi anak punk," Didin tertawa mengenang. 

Tidur di emperan supermarket atau di depan counter-counter, minta-minta duit atau mengamen di jalanan dan kemudian hasilnya dipakai untuk membeli alkohol, mabuk-mabukan, sudah dia jabani. 

Kelakuan semacam ini tidak hanya dia lewati di Sekadau bersama empat orang anak-anak punk lainnya, tapi mereka melanglang buana hingga ke Kota Pontianak. 

Butuh waktu dua hari mereka sampai ke ibukota Kalimantan Barat itu setelah menumpangi mobil-mobil yang kebetulan mau ditumpangi. Padahal normalnya, jarak Sekadau-Pontianak hanya 5 jam. 

"Waktu itu ada acara band anak punk di Pontianak. Berangkat lah kami ke sana. Di Pontianak kami ngamen juga di jalanan, tidur di emperan toko. Pokoknya, dimana berasa nyaman, di situlah kami tidur. Nah, buat pulang ke Sekadau lagi, kami ngamen, numpang-numpang mobil lagi," kenangnya.  

Walau semuanya serba urakan, Didin tak menampik kalau hal positif dia dapatkan juga dari pergaulan semacam itu. Mereka lima sekawan. 

"Solidaritas anak punk itu kuat. Segelas air mineral kami bagi bersama. Makanan juga begitu. Kalau makan satu, ya musti makan semua. Kalau enggak, mending enggak usah," katanya. 

Di rumahnya, Teresia justru gundah-gulana. Soalnya telah berminggu-minggu anak laki-laki semata wayangnya menghilang dari rumah. 

Tak tahan lagi dengan perasaannya, Teresia mengadukan ihwal keberadaan Didin itu kepada saudara Teresia yang paling tua, seorang kepala dinas di Pemerintah Kabupaten Sekadau. 

Setelah dicari ke sana-sini, ketemulah nomor ponsel satu dari lima sekawan tadi. "Tolong bilang sama Didin, kalau dia tidak pulang juga, akan saya laporkan ke polisi," tegas omongan Oom Didin yang kepala dinas itu melalui pesan whatsapp

Tak mau masalah jadi panjang, si teman tak berpikir ulang untuk memberitahukan keberadaan Didin dan singkat cerita, Didin dijemput dan dibawa pulang. "Sekitar bulan 11 hingga bulan 12 tahun 2023 saya nge-punk itu," Didin mengingat-ingat.  

Didin hanya bisa pasrah diberondong omelan Oomnya, tak terkecuali omelan bercampur air mata sang emak. Air mata yang kemudian membikin Didin mulai tersadar bahwa dia sesungguhnya punya tanggungjawab besar kepada keluarganya setelah ayahnya meninggal persis saat Didin tamat Sekolah Dasar (SD). 

Di rumah Oomnya yang kepala dinas itulah kemudian Didin tinggal sekaligus melanjutkan sekolahnya ke SMP. "Sampai tamat SMA saya di sana. Setelah ayah meninggal, emak kesulitan biaya. Kebun sawit memang ada, tapi hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari," katanya. 

SMA rampung, Didin sempat ditawari Oomnya menjadi security atau mandor di perusahaan, tapi Didin menolak. Dia lebih memilih pulang dan mengurusi kebun sawit emaknya. Namun itu tadilah, lantaran bandel, Didin terpengaruh lingkungan juga. 

Untung saja Didin belum sempat terlalu jauh. Itu pula makanya, meski sudah jadi anak punk, telinganya masih aman dari jejak piercing (tindik). Kalaupun tubuhnya bertato, itu hanya tato khas dayak.    

Pertarungan Batin di Tapak Tuan

Setelah menjalani 'sidang' keluarga, kelakuan Didin benar-benar 'mati kutu'. Buktinya dia manut saja saat Oomnya menawarkan kuliah beasiswa sawit kepadanya.

Hanya saja saat dibilang akan dikirim ke kampus yang ada di Aceh, Didin sempat berontak. "Ikut saja, jangan bandel lagi. Ingat, kamu musti jadi orang," begitulah Oom nya mengingatkan kembali omongan yang pernah terlontar dalam 'sidang' keluarga itu.  

Walau manut, Didin masih berusaha cari akal agar tidak kuliah di Aceh. Sebab dari cerita orang yang dia dengar, di Aceh itu seram, ada GAM nya. Agama juga ketat. Pemikiran semacam ini juga melekat di benak emaknya. Itu pula makanya sang emak enggak setuju Didin 'dikirim' ke Aceh. Takut Didin berkelahi di sana.   

Ada 'lampu hijau' dari emaknya seperti itu, saat mengisi formulir beasiswa, Didin memilih Instiper Yogya menjadi pilihan pertama. Poltas pilihan kedua dan ternyata di sinilah dia lulus untuk berkuliah. 

Terbang dari Pontianak ke Batam lalu Kualanamu, dan kemudian dilanjutkan perjalanan darat ke Tapak Tuan, tidak jadi masalah bagi Didin. 

Yang kemudian jadi persoalan itu justru seminggu di Tapak Tuan, badannya meriang, menggigil lantaran tidak dapat asupan alkohol. 

Selain lantaran di Tapak Tuan memang tidak ada yang menjual minuman keras, membayangkan wajah emak dan adik perempuan semata wayangnya, jadi energi buat Didin untuk bertahan tanpa alkohol. 

"Walau terasa sangat berat, saya bersyukur tidak lulus di Yogya. Kalau sempat lulus di sana, bisa jadi saya makin hancur, kebiasaan saya minum minuman keras tetap berlanjut," ujarnya. 

Menemukan Jati Diri Baru 

Tak terasa sudah setahun Didin berada di Tapak Tuan dan selama itu, dia sangat jarang keluar rumah. Aktivitasnya hanya kampus dan tempat kos di kawasan Lhok Bengkuang. 

Saban hari, emaknya dan adik perempuannya selalu menelepon Didin. Terobatkan jugalah rindu dia terhadap dua orang yang paling dia sayangi itu. 

"Jujur, saya sangat sayang kepada mereka, kepada mak. Dari kecil saya sudah dimanja. Bangun tidur makan sudah tersedia, rokok dibelikan," bergetar suara Didin bercerita.

Oleh rasa sayang tadi, Didin benar-benar telah membulatkan tekad untuk gigih belajar, biar kuliah segera rampung. Hasil kegigihannya itu kelihatan. Indeks Prestasinya tak pernah jauh dari 3,8. "Saya sangat berterimakasih kepada emak saya, adik saya, yang telah selalu dan terus mendukung saja. Saya ingin segera membahagiakan mereka," katanya. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz

Advertisement

Bagikan Artikel: