Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Uji Coba B50 Sudah Dilakukan, Ini Dampaknya ke Kendaraan

Uji Coba B50 Sudah Dilakukan, Ini Dampaknya ke Kendaraan Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan uji awal Biodiesel 50 (B50) yang merupakan campuran solar dengan 50 persen bahan bakar nabati telah tuntas dilakukan. Langkah ini menjadi fase penting dalam peta jalan transisi energi menuju implementasi mandatori B50 pada semester II tahun 2026.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Eniya Listiani Dewi menjelaskan, pengujian tahap awal dilakukan secara menyeluruh di Lemigas, dengan dukungan teknis dari Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas). Uji tersebut mencakup karakteristik bahan bakar, daya mesin, serta stabilitas penyimpanan untuk memastikan kesiapan B50 sebelum diuji di lapangan.

“Kami melakukan pengujian karakteristik bahan bakar, uji chassis dynamometer, uji filter clogging, serta uji presipitasi dan stabilitas penyimpanan,” ujar Eniya dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi XII DPR RI, Selasa (11/11/2025).

Baca Juga: Produksi B40 Capai 750 Ribu Barel, Kilang Plaju Siap Tancap Gas B50

Eniya mengatakan, dalam uji coba laboratorium ini solar yang digunakan terdiri dari dua jenis, yakni B0 CN 48 dan B0 CN 51, dan bahan bakar nabatinya memiliki beberapa komposisi yang diuji, yaitu Diesel Biohidrokarbon D100 dan B100.

Pihaknya juga menguji tiga komposisi, yaitu 35% campuran FAME dengan 15% HVO, serta 40% FAME dan 10% HVO, dengan total 50% FAME.

“Dari hasil uji, umur filter penggunaan B50 memang cenderung lebih pendek. Misalnya, jika umur filter sebelumnya tiga bulan, kini menjadi dua bulan, atau ada perbedaan sekitar 10–20%. Daya yang dihasilkan dari bahan bakar B50 juga lebih rendah sekitar 10–20% dibandingkan B40,” jelas Eniya.

Pertama, umur filter otomotif turun 26–63% dibanding B0 dan turun hingga 47% dibanding solar B40, sehingga KAI OEM filter kendaraan perlu diganti lebih cepat dari B40 yang memerlukan penggantian bila mencapai 100 jam penggunaan.

Baca Juga: Kebutuhan CPO Melonjak, DMO Jadi Opsi Jamin Pasokan untuk Program B50

Meski demikian, Eniya menekankan ada sisi positif dari hasil uji ini. Penggunaan base minyak solar dengan sulfur rendah (CN 51) terbukti menghasilkan particulate matter lebih rendah dibandingkan solar dengan sulfur tinggi (CN 48). Artinya, meski ada tantangan di aspek performa, B50 lebih ramah lingkungan dan mendukung pengurangan emisi karbon.

Dari uji coba awal, Eniya menyimpulkan bahwa solar yang baik untuk pencampuran adalah solar dengan kadar sulfur yang lebih rendah.

“Dalam waktu enam bulan ke depan, kami akan melakukan uji pemanfaatan B50 dalam kondisi nyata. Saat ini kami sedang mempersiapkan tahapan menuju B50, termasuk uji teknis road test yang diperlukan, kajian kecukupan dan keberlanjutan dana, kajian ketersediaan CPO, serta kajian peningkatan infrastruktur pendukung. Kami berencana dalam enam bulan ke depan melakukan pengujian spesifik di lapangan terkait persiapan B50,” lanjutnya.

Eniya menyebut, sebelum B50 diterapkan secara massal, pemerintah perlu melakukan upgrading sarana dan prasarana bahan bakar minyak (BBM). Tahapan ini diperkirakan memakan waktu sekitar tiga tahun.

Baca Juga: Jangan Dulu B50

Selain itu, dibutuhkan pula standarisasi untuk kapal dan moda angkut bahan bakar agar dapat menyesuaikan karakteristik B50 yang berbeda dari solar konvensional.

Jejak Panjang Mandatori Biodiesel

Program mandatori biodiesel bukan hal baru di Indonesia. Eniya memaparkan, kebijakan ini sudah berjalan sejak 2006, dimulai dari campuran rendah dan terus meningkat seiring waktu:

2006–2008: awal program biodiesel

2020: mandatori B30

2023: mandatori B35

2025: mandatori B40

2026 (rencana): menuju B50

Namun, ada perubahan penting dalam skema insentif. Jika sebelumnya insentif diberikan untuk sektor Public Service Obligation (PSO) dan non-PSO, mulai 1 Januari 2025, insentif hanya diberikan kepada sektor PSO. Artinya, pelaku usaha non-PSO harus menanggung sendiri biaya tambahan dari penggunaan biodiesel.

Baca Juga: Todotua: JV Toyota-Pertamina Bangun Pabrik Bioethanol di Indonesia Jadi 2026

“Apakah ke depan akan dilakukan B50? Kami masih membahas, melakukan uji, dan melakukan konsolidasi dengan para pemangku kepentingan untuk pelaksanaan B50 tersebut,” ujar Eniya.

Dampak Ekonomi dan Lingkungan: Devisa Hemat Rp107 Triliun

Selain mendorong kemandirian energi, kebijakan biodiesel terbukti memberikan manfaat ekonomi signifikan. Pada pelaksanaan B40 tahun ini, hingga November 2025, pemerintah mencatat penghematan devisa sebesar Rp107,2 triliun, sementara pada tahun sebelumnya (B35) mencapai Rp124,28 triliun.

Program ini juga meningkatkan nilai tambah CPO sebesar Rp16,89 triliun hingga November 2025, serta menyerap sekitar 1,5 juta tenaga kerja di sektor on-farm dan off-farm.

Dari sisi lingkungan, implementasi biodiesel telah menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 32,2 juta ton CO₂ sepanjang 2025.

Baca Juga: Pertamina Patra Niaga Pacu Transisi Energi Lewat Pertamax Green 95, Gunakan Bioetanol dari Tebu Lokal

“Jika dilihat dari urgensi mandatori biodiesel di Indonesia, kita ketahui bahwa tujuan utamanya adalah menstabilkan harga sawit, menurunkan atau mensubstitusi impor, dan menurunkan emisi,” kata Eniya.

Kapasitas Produksi Nasional Siap

Untuk mendukung transisi ke B50, Indonesia memiliki kapasitas produksi biodiesel sebesar 22 juta kiloliter, dengan 28 pabrik biodiesel dan 25 badan usaha bahan bakar nabati yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa.

Per 6 November 2025, realisasi penyaluran biodiesel telah mencapai 12,11 juta kiloliter, atau 77,8% dari target nasional sebesar 15,6 juta kiloliter.

Menuju 2026: Antara Optimisme dan Kesiapan Teknis

Meski hasil uji awal B50 masih menunjukkan sejumlah tantangan, pemerintah tetap optimistis. Dengan koordinasi lintas lembaga, dukungan industri, dan kesiapan infrastruktur, B50 diharapkan menjadi langkah besar menuju kemandirian energi hijau Indonesia.

Baca Juga: Kemenkop Siap Kembangkan Potensi Industri Bioethanol RI Lewat Koperasi

“Dari B40 ini kami mendapatkan banyak masukan untuk program selanjutnya. Jadi pengawasan juga kami ketatkan, dan untuk pelaksanaan hingga Desember 2025 kami berkomitmen mengawal program ini sebaik mungkin,” tandas Eniya.

“Dan sesuai dengan perintah Pak Menteri, kita akan melakukan uji B50 karena dengan program B50 nanti kita bisa mengurangi ketergantungan impor,” tutup Eniya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Djati Waluyo

Advertisement

Bagikan Artikel: