Kredit Foto: Abdul Aziz
Suka tidak suka, pemerintah nampaknya musti menahan selera dulu untuk tidak menaikkan bauran biodiesel dari B40 menjadi B50.
Soalnya kalau bauran ini dipaksakan naik, resikonya teramat besar, dan berantai pula. Resiko itu tidak hanya datang dari dalam, tapi juga luar negeri.
Saat berbincang dengan wartaekonomi dua hari lalu, anggota Tim Peneliti Pranata UI, Dr. Surjadi mengatakan, kalau B40 dinaikkan menjadi B50, akan memicu kekurangan bahan baku sekitar 10,8 juta ton.
Sebab biar B50 yang membutuhkan pasokan bahan baku sekitar 18,69 juta kilo liter itu aman dan lancar, produksi minyak sawit nasional harus berada di angka 59 juta ton per tahun.
Sementara saat ini, produktifitas minyak sawit nasional hanya berada di kisaran 48,2 juta ton per tahun.
Memang, ada yang mengira-ngira kalau produksi minyak sawit di tahun depan, akan meningkat sekitar 1,3 juta ton. Tapi tetap saja itu tidak bisa menutupi kekurangan bahan baku yang sangat besar.
Itu soal bahan baku. "Kami juga membuat simulasi soal devisa. Kalau B50 jadi dibikin, devisa impor solar akan hemat sekitar Rp172,35 triliun," terangnya.
Tapi B50 ini juga berpotensi menekan ekspor CPO hingga Rp190,5 triliun. Angka ini lebih besar ketimbang penghematan devisa impor. 
Lantaran ekspor tertekan, surplus neraca perdagangan akan terancam, cadangan devisa tertekan, dan stabilitas nilai tukar rupiah terganggu.
Penurunan ekspor juga kata Surjadi akan membikin harga CPO naik. Malah telah sering lebih mahal ketimbang minyak nabati lain seperti kedelai. Selisih harga lebih dari USD100 per ton.
Bisa jadi lantaran harga yang melambung itu kata lelaki 55 tahun ini, negara importir utama seperti India mulai melirik minyak kedelai dan bunga matahari.
Situasi semacam inilah yang kemudian akan membikin impor Crude Palm Oil (CPO) Indonesia terjun ke titik terendah sejak 2019 dan 2020.
"Naiknya bauran B40 menjadi B50 akan membikin harga minyak goreng domestik naik hingga 9 persen. Lalu harga Tandan Buah Segar (TBS) juga akan terdongkrak sekitar Rp618 per kilogram. Sebab itu tadi, permintaan minyak sawit untuk bahan baku biodiesel telah meningkat," ujarnya.
Tapi lagi-lagi, di balik potensi keuntungan tadi, beban fiskal baru justru langsung nongol. Itu terjadi lantaran B50 membutuhkan subsidi yang lebih bongsor demi menjaga keekonomian program biodiesel tadi.
Mau tak mau, pungutan ekspor CPO yang selama ini menjadi sumber pembiayaan program biodiesel ini, bakal naik. Kenaikan ini praktis akan membikin harga TBS petani tertekan.
Surjadi menghitung, 1 persen saja pungutan ekspor itu naik, harga TBS petani akan turun sekitar Rp333 per kilogram.
Bila kemudian tarif ekspor naik menjadi 15,17 persen dari yang sebelumnya 10 persen, maka harga TBS petani akan tertekan hingga Rp1.725 per kilogram.
Kalau sudah begini, petani akan terancam gulung tikar. Sebab hitung-hitungan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Harga Pokok Produksi (HPP) petani sawit saja sudah di angka Rp1.850 hingga Rp2.100 per kilogram.
Agar petaka itu tidak terjadi, Pranata UI menyimpulkan bahwa untuk saat ini campuran biodiesel yang optimal itu masih hanya berada pada kisaran B35–B40.
Di bauran segitu, manfaat energi, ekspor dan stabilitas harga masih seimbang sehingga tidak perlu menaikan pungutan ekspor.
"Starting poinnya itu sebenarnya, seberapa besar sih kemampuan kita memproduksi biodiesel? Ini teramat penting, biar kita tahu fisible atau tidak," tegasnya.
Kalaupun akan ada penambahan bauran kata Surjadi, Pranata UI merekmendasikan kebijakan blending rate dinamis. Maksudnya menyesuaikan kadar campuran dengan fluktuasi harga solar, CPO, dan TBS.
Kebijakan semacam ini menurut Surjadi sudah diterapkan di sejumlah negara seperti Brasil, Malaysia, dan Thailand. Negara-negara ini menerapkan model fleksibilitas mandatori untuk menjaga keseimbangan antar sektor.
Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perusahaan Inti Rakyat (Aspek-PIR) Setiyono sepakat dengan Pranata UI yang dikomandani oleh Dr. Ir. Widyono Soetjipto M.Sc itu.
"Biar saja dulu tetap di B40. Soalnya produktifitas minyak sawit kita belum naik. Kalau kemudian dipaksakan B50, otomatis Pungutan Ekspor (PE) akan naik. Kalau sudah naik, akan menyusahkan petani sawit," katanya.
Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat Apkasindo, Gus Dalhari Harahap, juga meminta agar pemerintah tidak terburu-buru menaikkan bauran itu.
"Kaji dulu manfaat dan mudaratnya. Kalau hanya sekadar penyerapan di dalam negeri, dampak buruknya akan besar. Yang pasti, eksportir kecil akan hilang. PE naik," katanya.
"Yang saya khawatirkan itu justru bukan soal ketersediaan bahan baku. Tapi dampak buruk berantainya itu," tambahnya.
Akan lebih baik menurut Gus, evaluasi dulu pelaksanaan B40 itu. Sudah optimalkah atau belum. Sudah pernah dievaluasi kah atau belum.
Soalnya menurut Gus, pada Diktum ke-5 Keputusan Menteri ESDM Nomor 341 yang berlaku sejak 24 Desember 2024 itu, evaluasi itu musti dilakukan paling lambat sekali tiga bulan.
Baca Juga: Penerimaan Bea Cukai Tumbuh 7,1%, Ekspor Sawit Jadi Pendorong
Baca Juga: Bertumbuh Bersama BPDP di acara Trade Expo Indonesia 2025
"Kalau yang saya lihat justru, B40 itu belum sepenuhnya terlaksana. Masih ada Pertadex, masih ada subsidi dan non subsidi. Kenapa ini enggak dievaluasi? Biar pemanfaatannya optimal, kenapa tidak disamakan saja?" Gus bertanya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz
Tag Terkait:
Advertisement