Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kebutuhan CPO Melonjak, DMO Jadi Opsi Jamin Pasokan untuk Program B50

Kebutuhan CPO Melonjak, DMO Jadi Opsi Jamin Pasokan untuk Program B50 Kredit Foto: Austindo
Warta Ekonomi, Jakarta -

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menyebut program biodiesel pada tahun 2026 mendatang bakal dikembangkan dengan campuran bahan bakar nabati sebesar 50% pada minyak solar (B50).

Dia mengakui, rencana tersebut akan meningkatkan kebutuhan minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO). Karena itu, pemerintah membuka kemungkinan menerapkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) untuk komoditas tersebut.

“Kita pasti nambah CPO, hukumnya cuma bikin kebun baru, intensifikasi, atau sebagian ekspor tidak kita lakukan, kita berlakukan DMO dengan harga yang kompetitif,” ujar Menteri Bahlil di Kantor Kementerian ESDM, Selasa (14/10/2025).

Baca Juga: Wamen ESDM: Kebutuhan FAME untuk B50 2026 Capai 19 Juta Kiloliter

Jika DMO diterapkan, ekspor sebagian sawit bakal dipangkas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, terutama untuk mendukung implementasi B50.

DMO sendiri merupakan kewajiban bagi perusahaan, khususnya di sektor sumber daya alam, untuk memasok kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu sebelum melakukan ekspor.

Namun demikian, Bahlil menegaskan bahwa penerapan DMO hanya menjadi salah satu opsi selain intensifikasi lahan eksisting dan pembukaan kebun sawit baru.

“Jika alternatif ketiga yang dipakai, memangkas sebagian ekspor, maka salah satu opsinya, saya ulangi salah satu opsinya adalah mengatur antara kebutuhan dalam negeri dan luar negeri. Itu di dalamnya, ada salah satu instrumennya DMO,” jelasnya.

Baca Juga: Lewat Biodiesel B40 hingga SAF Minyak Jelantah, Pertamina Pacu Transformasi Bisnis Berkelanjutan

Bahlil menambahkan, program B50 rencananya bakal dijalankan sekitar semester kedua tahun 2026. Saat ini, pemerintah tengah melakukan uji coba mesin dengan bahan bakar ramah lingkungan tersebut.

“Semester kedua ya di 2026 itu mulai kita implementasikan. Artinya, kita tidak lagi impor solar. Sekarang, kebutuhan solar kita impor 4,9 juta kilo liter (kl), kalau kita konversi ke B50 itu kita sudah tidak impor lagi,” jabar Bahlil.

Saat ini, campuran minyak nabati terhadap solar berada di kisaran 40% (B40) dan bersifat mandatori alias wajib. Peningkatan kadar menjadi 50% diharapkan mampu menekan impor solar sekaligus memperkuat ketahanan energi nasional.

“Atas arahan Bapak Presiden, sudah diputuskan bahwa 2026, insya Allah akan kita dorong ke B50, dengan demikian tidak lagi kita melakukan impor solar ke Indonesia,” kata Bahlil dalam keterangan resm, Kamis (9/10/2025)

Baca Juga: Pemerintah Lanjutkan Uji Coba Biodiesel 50, Tunggu Hasil Sebelum Diluncurkan

Secara teknis, kebijakan B50 dirancang untuk menutup sisa kuota impor solar yang masih ada dalam skema B40. Catatan Kementerian ESDM menunjukkan, impor minyak solar di 2025 diprediksi masih berada di kisaran 4,9 juta kiloliter (kl) atau setara 10,58% dari total kebutuhan nasional.

Bahlil menilai, implementasi B50 bakal mendorong peningkatan porsi bahan bakar nabati, dalam hal ini Fatty Acid Methyl Ester (FAME), secara lebih masif sehingga mampu menggantikan sepenuhnya volume impor solar.

Untuk itu, kapasitas produksi FAME yang saat ini mencapai 15,6 juta kl perlu ditingkatkan menjadi 20,1 juta kl agar kebijakan tersebut dapat berjalan efektif. Langkah ini juga diharapkan memberi efek berganda pada perekonomian nasional.

Baca Juga: BPDP dan STP Bogor Launching Buku Kuliner Berbahan Sawit Untuk UMKM

Baca Juga: BPDP dorong Wirausaha UMKM Sawit sebagai Peluang Karier

“Dengan B50, kita maksimalkan potensi sawit dalam negeri, kita perkuat ekonomi petani, dan yang terpenting kita pastikan ketahanan energi nasional berada di tangan kita sendiri. Ini adalah langkah menuju kemandirian sejati,” tandas Bahlil Lahadalia.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Djati Waluyo

Advertisement

Bagikan Artikel: