Raperda KTR Jakarta Dinilai Beri Dampak Tak Menguntungkan bagi Pedagang Kecil
Kredit Foto: Istimewa
Rencana penerapan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di DKI Jakarta memicu perdebatan. Pakar ekonomi dan asosiasi pedagang kaki lima menyoroti dampak kebijakan ini terhadap keberlangsungan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Rizal Taufikurahman menegaskan bahwa pembatasan produk tembakau memiliki konsekuensi ekonomi nyata bagi UMKM. Menurutnya, rokok selama ini berperan sebagai “instrumen” yang menarik konsumen untuk berbelanja produk lain di warung kecil.
"Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) membawa dampak langsung bagi UMKM seperti warung, kios, dan pedagang kelontong. Pembatasan ruang merokok dan larangan penjualan (rokok) di area tertentu bisa menurunkan omzet, karena selama rokok ini menjadi penarik traffic pembeli," ujar Rizal.
Ia menjelaskan, pola konsumsi di toko maupun warung sangat unik: pembeli datang untuk membeli rokok, lalu membeli kebutuhan lain. Jika akses ini diputus mendadak, dampaknya akan sistemik. "Jika diterapkan, pelaku usaha di zona larangan akan kehilangan sebagian pendapatannya," kata Rizal.
Rizal menyarankan Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta menyiapkan peta zona resmi, melakukan sosialisasi terbuka, dan akses permodalan. Ia juga mengingatkan bahaya aturan multitafsir yang berpotensi memunculkan pungutan liar.
“Banyak warung berada dalam radius larangan. Tanpa pemetaan akurat, aturan ini bisa memicu konflik horizontal dan resistensi antar pelaku usaha,” jelasnya.
Senada dengan INDEF, Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) menilai sejumlah pasal dalam Raperda KTR berpotensi memukul mata pencaharian jutaan rakyat kecil. Ketua Umum APKLI, Ali Mahsun Atmo memperingatkan dampak sosial-ekonomi yang bisa terjadi.
“Perluasan kawasan tanpa rokok ke kuliner rakyat dan pasar rakyat itu tidak ada rasionalitas dan objektivitas. Kalau itu terjadi di Warung Tegal (warteg), warung kopi, Soto Lamongan, los-los, tenda dan sebagainya dilarang merokok, omzetnya langsung anjlok,” kata Ali.
Ali juga menagih janji anggota DPRD DKI Jakarta untuk menganulir rencana penerapan pasal-pasal kontroversial yang melarang penjualan rokok. Ia meminta agar perluasan KTR tidak mencakup warung kuliner dan pasar rakyat, karena hal ini akan langsung memukul sektor UMKM yang menjadi tulang punggung perekonomian informal.
Lebih jauh, penerapan zonasi pelarangan penjualan rokok dalam radius 200 meter berikut larangan pemajangan produk di tempat penjualan akan mendorong peredaran rokok ilegal, yang saat ini menjadi perhatian serius pemerintah pusat. Kebijakan ini dinilai kontraproduktif terhadap tujuan nasional untuk menekan peredaran rokok ilegal.
Ketika akses terhadap rokok legal dipersempit, konsumen cenderung mencari alternatif di pasar gelap. Dampaknya bukan hanya menggerus penerimaan negara dari cukai, tetapi juga memperumit pengawasan dan penegakan hukum.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement