Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Deforestasi Lanskap Taman Nasional Tesso Nilo Disebut Mayoritas Ulah Korporasi, Bukan Masyarakat

Deforestasi Lanskap Taman Nasional Tesso Nilo Disebut Mayoritas Ulah Korporasi, Bukan Masyarakat Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Riau -

Beban berat sangat dirasakan masyarakat yang diklaim berada di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Selain mereka dicap perambah yang merusak hutan alam, tudingan pendatang, melengkapi derita mereka enam bulan terakhir. 

Padahal, kalau dirunut berdasarkan riwayat hadirnya TNTN, justru telah ada 28.606,8 hektar lahan yang telah dikelola oleh masyarakat jauh sebelum TNTN ditetapkan pada 2014 seluas 81.793 hektar. 

Data ini bukan datang dari masyarakat, tapi justru hasil telaah Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi (BKSDA) Riau pada 2006 dan Balai Taman Nasional Tesso Nilo-WWF Riau 2010. 

Adanya lahan masyarakat yang kemudian diklaim TNTN inilah kemudian muncul tudingan kalau proses pengukuhan TNTN itu tidak dilakukan dengan benar. 

Sebab, pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 2004 Tentang Perencanaan Kehutanan jelas-jelas menyebutkan bahwa apabila proses penataan batas telah selesai dilakukan dan sudah temu gelang, tapi masih ada hak-hak masyarakat di dalamnya, maka Panitia Tata Batas harus menyelesaikan.  

"Kalau disimpulankan, apabila proses pengukuhan dilakukan dengan benar, maka tidak akan pernah ada hak-hak masyarakat yang terjebak di dalam Kawasan hutan, termasuk konservasi," ujar Ahmad Zazali, Presidium Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) Periode 2003-2005, saat berbincang dengan wartaekonomi, tadi siang. 

Lantas pertanyaan yang kemudian muncul; benarkah masyarakat yang menebangi hutan alam di areal yang kini disebut TNTN itu?    

Wakil Koordinator Jikalahari periode 2005-2007 ini pun mulai jauh cerita bahwa dari tahun 1974, ada PT. Dwi Marta yang mendapat konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di areal TNTN tahap pertama, areal ini ditunjuk pada 2004 seluas 38.576 hektar, seluas 120 ribu hektar.

Baca Juga: Anggota DPRD Riau Minta Kejaksaan Usut Tuntas Dugaan Kebocoran Retribusi Pasar di Siak

Konsesi ini berakhir pada 1994 dan 57.850 hektar kemudian menjadi konsesi PT. Inhutani IV. "Areal seluas ini bukan jadi HPH, tapi konsesi Hutan Tanaman Industri dengan system silvikultur," terang lelaki yang karib disapa Zali ini. 

TNTN tahap kedua yang ditunjuk pada tahun 2009 lanjut lelaki 49 tahun ini, adalah HPH PT. Nanjak Makmur yang diusahai sejak tahun 1979 dan kemudian berakhir pada 2009. Luas konsesi itu 48.370 hektar. 

"Artinya, areal yang kemudian dijadikan TNTN itu adalah areal bekas tebangan konsesi HPH dan areal HTI. Kita tahu bahwa areal HPH itu boleh menebang kayu dengan diameter 60 sentemeter ke atas. Sementara HTI itu tentunya tebang habis lalu digantikan dengan akasia," ujarnya.  

Makin jauh Magister Ilmu Hukum Universitas Jayabaya ini cerita, data Jikalahari menyebutkan bahwa ada 7 lansekap hutan alam tersisa di Riau pada tahun 2000-an; lanskap Rokan Hilir-Senepis, lansekap Giam Siak Kecil, lansekap Semenanjung Kampar, lansekap Kerumutan, lansekap Tesso Nilo, lansekap Bukit Betabuh-Bukit Rimbang Bukit Baling, dan lansekap Bukit Tiga Puluh.

"Hasil penelitian WWF dan BKSDA Riau, lansekap Tesso Nilo yang luasnya 337.500 hektar itu merupakan habitat gajah Sumatera yang harus dilindungi. Karena itulah barang kali pada 2001, Gubernur Riau menyurati agar 156 ribu hektar areal itu dijadikan areal konservasi gajah" kata Ketua Pusat Hukum dan Resolusi Konflik (PURAKA) ini. 

Tapi sayang kata Zali, dari luasan lansekap tadi, hanya  81.793 hektar yang berhasil dijadikan TNTN,  168.960 hektar hutan alamnya malah diberikan izin oleh kehutanan untuk dikonversi 9 perusahaan menjadi HTI. 

"Kesembilan perusahaan HTI yang mendeforestasi lansekap Tesso Nilo yang seharusnya menjadi habitat gajah itu antara lain; PT. Arara Abadi, PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), PT. Nusa Prima Manunggal (NPM), PT. Nusa Wana Raya (NWR), PT. Nusantara Sentosa Raya (NSR), PT. Rimba Lazuardi, PT. Rimba Peranap Indah, PT. Wana Nugraha Bima Lestari, dan CV. Putri Lindung Bulan," Zali merinci.

Baca Juga: Sambut Nataru 2025/2026, Polda Riau Bersama Pemprov Pastikan Harga, Stok, dan Distribusi Pangan Aman

Anehnya kata Zali, di dalam areal izin ke 9 perusahaan itu ada pula kebun kelapa sawit seluas 21.940 hektar.

Kalau pemerintah pusat benar-benar ingin menyelamatkan habitat gajah sumatera, mestinya kata Zali, lansekap Tesso Nilo yang 168.960 hektar itu juga harus dijadikan kawasan konservasi gajah.

"Jangan sampai tujuan konsevasi gajah hanya menggusur warga tapi membiarkan lansekap Tesso Nilo dikonversi menjadi tanaman akasia untuk memenuhi bahan baku industri pulp and paper," tegasnya.

Jika pemerintah hanya fokus merelokasi warga, menurut Zali, tindakan ini justru berpotensi memiskinkan puluhan ribu jiwa lantaran kehilangan sumber ekonominya.

"Cara-cara ini juga akan memantik konflik sosial yang lebih luas. Kalau ini terjadi, maka sudah pasti akan bertentangan dengan semangat asta cita Presiden Prabowo yang menggelorakan semangat kerakyatan pasal 33 UUD 1945," ujarnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Sahril Ramadana
Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: