Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Temu Kepentingan Dua Seteru Lama Iran-AS (II)

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Sementara di Irak, kebijakan sektarian dari pemerintahan pro-Tehran juga membuat kelompok ISIS semakin kuat dan bahkan berhasil mendirikan negara baru--meski tidak diakui oleh komunitas internasional.

Secara sederhana bisa disimpulkan bahwa Iran kini butuh kawan di kawasan paling rawan perang. Menurut laporan The Economist, situasi tersebut memaksa Iran menurunkan status "harga mati" program nuklir sampai pada level yang terbuka untuk dinegosiasikan dengan AS.

Respon Washington Iran tidak bertepuk sebelah tangan. AS pun juga tak kalah butuh setelah runtutan salah langkah membuat Washington kehilangan cengkraman di Timur Tengah.

Sebagaimana ditulis oleh Walter Mead di Wall Street Journal, politik jangka panjang Obama di Timur Tengah sebenarnya sederhana, yaitu mendekat ke kelompok moderat yang menjadi kekuatan utama arus Kebangkitan Arab 2011.

Washington berharap dukungan pada kelompok moderat seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir akan mengenyahkan anasir garis keras yang kerap kali menjadi bibit terorisme anti-Barat.

Tapi Obama salah hitung. Ikhwanul Muslimin adalah seteru bagi Israel, Arab Saudi, dan kelompok militer Mesir yang selama ini merupakan sekutu tradisional Gedung Putih. Dukungan bagi Ikhwanul Muslimin sama saja mengalienasi tiga kelompok yang harus diakui masih berpengaruh besar di kawasan itu.

Dampak di kemudian hari dapat terlihat dari keengganan sekutu tradisional AS mendukung kampanye militer menumpas ISIS. Ini artinya, Pentagon harus merogoh dana besar sekitar 8,3 juta dolar AS untuk membiayai perang baru di Suriah dan Irak di tengah belum pulihnya perekonomian dalam negeri.

Pada titik inilah kepentingan AS dan Iran bertemu. Tehran memiliki kelompok paramiliter kuat bernama Pasukan Quds yang bisa memobilisasi warga Syiah di Irak untuk melawan gerakan ISIS.

Sementara di sisi lain, Washington juga memegang kartu as pemulihan ekonomi Iran melalui pencabutan sanksi. Akhirnya bisa diasumsikan penyebab skenario yang terjadi selanjutnya, bahwa nuklir dirundingkan untuk barter jasa.

Tentu saja jalan menuju kesepakatan bersejarah soal sengketa nuklir itu tidaklah mudah meski kedua pihak terlihat punya niat besar--terbukti dengan diperpanjangnya tenggat waktu kesepakatan akhir sampai dua kali, yang pertama Februari dan yang terbaru pada November 2014 lalu.

Keberhasilan perundingan nuklir tidak hanya bergantung pada titik temu kepentingan antara pemerintah Obama dan Rouhani, melainkan juga pada persetujuan kelompok konservatif pecinta perang ("hawkish") yang sama-sama punya pengaruh di kedua negara.

Dampak Internasional Namun jika sampai akhir Juni 2015, Iran dan AS berhasil mencapai kesepakatan dan memulihkan hubungan diplomatik yang beku selama lebih dari tiga dekade, maka bisa dipastikan peta politik internasional akan berubah pada beberapa tahun mendatang.

Skenario pertama yang mungkin terjadi adalah perang langsung antara Israel dan Iran. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu adalah penentang keras perundingan nuklir antara komunitas internasional dengan Tehran.

Netanyahu selalu mengutip kembali pernyataan Ahmadinejad bahwa Israel harus dihapus dari peta dunia dan bahwa pembantaian terhadap kelompok Yahudi oleh rezim Nazi di Jerman adalah sekedar rekayasa.

"Israel tidak akan membiarkan Iran mengembangkan senjata atom. Jika terpaksa, Israel siap melakukan aksi sepihak. Saya mengingatkan bahwa Rouhani pernah menipu komunitas internasional dan kini dia hendak melakukannya lagi (melalui perundingan nuklir)," kata Netanyahu di depan Sidang Umum PBB pada tahun lalu.

Jika Netanyahu serius dengan ancaman "aksi sepihak" itu, maka juga patut ditunggu reaksi negara-negara Sunni kawasan Teluk yang selama ini tidak pernah bersahabat dengan Israel maupun Iran.

Dampak perundingan nuklir Iran diperkirakan tidak hanya menggeser peta konflik di Timur Tengah, tetapi juga pada level global karena perjanjian itu akan membuat AS dapat mengalokasikan energi politik luar negerinya di kawasan Asia Pasifik--tempat di mana kapital tengah bertumbuh.

Analis hubungan internasional dari Bower GroupAsia, Ernest Bower, beberapa waktu lalu di Jakarta mengatakan bahwa niat Obama mengorientasikan politik luar negeri ke Asia Pasifik--yang dikenal dengan doktrin "Rebalancing Asia"--selalu terhambat oleh peristiwa mendesak di kawasan lain.

Maka tidak berlebihan untuk menduga bahwa AS akan senang meninggalkan upaya penumpasan kelompok ISIS di Timur Tengah ke tangan sekutu baru yang cukup kuat seperti Iran dan berkonsentrasi ke Asia.

Skenario yang kedua ini tentu saja tidak bebas masalah. Sudah umum diketahui bahwa perseteruan antara Tiongkok dengan AS belum mencapai puncak karena Washington tidak memiliki cukup energi untuk mencampuri sengketa teritorial Laut Tiongkok Selatan dan Timur.

Letupan-letupan kecil di kepulauan Spratly maupun Senkaku/Diaoyu sepanjang tahun ini nampak tidak ditanggapi serius oleh Washington yang biasanya suka mengintervensi urusan negara lain dan menganggap dirinya sebagai polisi dunia.

Sejarah juga membuktikan bahwa jika memiliki energi yang cukup, Pentagon tidak segan untuk turun langsung ke medan pertempuran di wilayah Asia--sebagaimana bisa dicontohkan dalam perang Vietnam pada awal 1970-an untuk membendung pengaruh komunisme.

Dengan demikian, perundingan nuklir di Iran juga merupakan ujian sejarah bagi Obama. Keberhasilan negosiasi itu akan menjadi penentu pilihan tetap jatuh dalam lubang hitam bernama Timur Tengah, atau justru keluar dan berhadapan langsung dengan rival besar baru bernama Tiongkok.

Demikian pula bagi Iran. Para mullah kini harus memutuskan pilihan yang sama-sama sulit. Menyelamatkan ekonomi dengan kompromi, atau bersikukuh pada doktrin revolusi yang tak-lagi kukuh. (Ant/GM Nur Lintang Muhammad)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor:

Advertisement

Bagikan Artikel: