Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Revisi UU Pilkada Masih Butuh Perbaikan

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Proses revisi Undang-Undang nomor 8 tahun 2015 tentang pemilihan kepala daerah saat ini masih bergulir di parlemen dan menjadi perhatian banyak kalangan menyangkut materi yang akan diperbaiki.

Ditargetkan selesai pada akhir masa persidangan IV tahun sidang 2015-2016, hingga penutupan masa sidang di akhir pekan ini, revisi aturan tentang pilkada tersebut masih belum tuntas.

Amanat undang-undang untuk menyelenggarakan pilkada serentak yang telah dilakukan untuk pertama kalinya pada 2015 lalu, membuat pemerintah dan DPR RI menilai perlu melakukan perbaikan atas sejumlah aturan sehingga pilkada serentak selanjutnya pada 2017 mendatang bisa lebih baik.

Seperti diungkapkan oleh Wakil Ketua Komisi II DPR RI Lukman Edy, setidaknya ada tujuh hal yang menjadi perhatian dalam revisi UU Pilkada kali ini.

Dari mulai usulan penggunaan KTP elektronik sebagai salah satu syarat masyarakat masuk ke dalam daftar pemilih hingga pandangan tentang perlunya petahana yang akan maju ke pilkada memerlukan ijin presiden dan penyederhanaan tugas KPU daerah termasuk tidak lagi mengurus pemasangan alat peraga, banyak usulan pembahasan yang bisa mengundang perdebatan banyak pihak.

Dari kalangan anggota DPR RI sendiri, banyak harapan yang dimunculkan terkait pembahasan revisi undang-undang ini.

Seperti yang disampaikan oleh anggota Komisi II DPR RI Mukhammad Misbkhun, revisi ini memiliki sejumlah harapan sehingga pelaksanaan pilkada dapat berjalan lebih baik.

Menurutnya, revisi terbatas UU Pilkada sasarannya menghasilkan kepemimpinan politik lokal yang kuat dan efektif dan mewujudkan demokratisasi.

Salah satu kepentingan dari pembahasan revisi ini adalah bagaimana menghadirkan regulasi yang kredibel yakni memenuhi kepentingan substantif, menjangkau segala aspek yang dibutuhkan, memiliki makna tafsir tunggal dan konsisten, akan memberi sandaran yang kuat dalam menuntun perilaku penyelenggara pemilu.

Ia berharap dengan adanya aturan yang tepat maka potensi konflik dalam pilkada dapat ditekan dan persoalan yang timbul dapat segera diselesaikan melalui peraturan yang ada.

Revisi aturan ini juga diharapkan menghasilkan penyelenggara pemilu yang profesional dan berintegritas.

Menurut dia, kunci untuk membangun demokrasi yang berintegritas adalah penyelenggara pemilu yang profesional dan berintegritas.

Pilkada Murah Banyak kalangan menilai bahwa pelaksanaan pilkada memerlukan biaya yang tidak sedikit.

Tak hanya bagi pembiayaan pilkada yang bersumber dari keuangan negara, namun juga biaya yang dikeluarkan oleh calon yang akan bertarung dalam pemilihan kepala daerah tersebut.

Meski tak mudah dan rumit, pilkada serentak dinilai bisa mengurangi penggunaan anggaran yang besar sekaligus melaksanakan proses elektoral yang murah.

Hal ini penting karena salah satu tujuan pemilihan kepala daerah secara langsung dan serentak adalah efisiensi anggaran.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraeni menilai salah satu titik penting dalam revisi UU Pilkada termasuk didalamnya mendorong penggunaan dana yang lebih cermat untuk penyelenggaraan pilkada.

Menurut dia, jika melihat pada Pilkada 2015 terdapat persoalan utama yang mendesak untuk diperbaiki, yaitu perihal dibebankannya anggaran penyelenggaran pilkada kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Pembebanan tersebut dapat berdampak pada terciptanya konflik kepentingan terhadap calon kepala daerah yang merupakan petahana (incuumbent) atau petahana yang kerabatnya mencalonkan diri menjadi kepala daerah.

Sehingga, katanya, menjadi penting kemudian untuk memperhatikan kesiapan anggaran di 101 daerah yang akan melangsungkan Pilkada 2017.

Masalah lain yang mendapat perhatian dalam revisi kali ini juga termasuk dalam peran serta partai politik dan juga calon yang akan bertarung dalam pilkada.

Lukman Edy mengatakan Komisi II yang sudah melakukan konsultasi dengan Mahkamah Konstitusi membuka partisipasi paslon dari semua unsur, menurutnya, lebih bagus membuka ruang selebarnya tanpa diskriminatif kepada semua SDM bangsa untuk terlibat dalam rekruitmen pemimpin daerah.

Dengan demikian, anggota legislatif, pejabat negara, PNS, TNI/POLRI terbuka kesempatan untuk menjadi pasangan calom tanpa kewajiban mundur dari jabatannya, yang diatur hanya cuti kampanye di luar tanggungan negara.

Bagi partai politik, ini merupakan tantangan untuk bisa melakukan proses kaderisasi yang baik. Sebab tanpa kaderisasi yang baik maka sulit bagi parpol untuk bisa mengajukan calon yang berpotensi menang di pilkada.

Ini akan memunculkan partai politik yang responsif, yakni partai politik sebagai peserta dalam pemilihan kepala daerah secara langsung harus menyesuaikan diri dengan dinamika aspirasi dan kebutuhan masyarakat.

Sementara bagi calon kepala daerah itu sendiri, bisa melahirkan kandidat yang mumpuni dan aspiratif, yakni calon kepala/wakil kepala daerah yang direkrut parpol harus benar-benar mempertimbangkan figur yang memiliki integritas, kapasitas, dan kapabilitas, bukan karena kemampuan finansialnya.

Namun bila hal itu disepakati maka harus dipikirkan dampaknya bagi kinerja baik anggota legislatif, pejabat negara, PNS, TNI/Polri yang bisa ikut serta dalam pilkada tanpa mundur dari jabatannya.

Aturan yang mencegah adanya konflik kepentingan dan penyalahgunaan kewenangan harus diatur secara jelas. Dengan adanya aturan yang tegas untuk hal ini, maka diharapkan calon kepala daerah dapat memiliki kapabilitas yang baik tetapi tidak menyalahgunakan kewenangan dan jabatannya.

Berlanjut sidang mendatang Pembahasan revisi undang-undang Pilkada dilanjutkan pada masa sidang berikutnya. Ini karena beberapa hal masih memerlukan pembicaraan lanjutan.

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Wahidin Halim mengatakan pembahasan revisi Undang-Undang Pilkada akan dilanjutkan pada masa sidang berikutnya karena ada sejumlah pasal yang perlu dikonsultasikan kepada Presiden RI Joko Widodo.

Ia mengatakan pembahasan revisi UU Pilkada masih terus berlangsung dan pembahasan sudah mulai mengerucut. Sedangkan pembahasan terhadap beberapa pasal masih menunggu konsultasi Menteri Dalam Negeri dengan Presiden.

Politikus Partai Demokrat itu mengatakan dalam proses pembahasan revisi UU Pilkada antara Pemerintah dan DPR, muncul wacana untuk tidak menaikkan syarat dukungan bagi calon independen.

Sedangkan untuk dukungan partai politik, presentase diturunkan menjadi 15 persen sampai 20 persen.

Namun menurut Wahidin, kesepakatan ini masih perlu dikonsultasikan dengan Presiden Jokowi.

Sementara Lukman Edy menilai, ada tiga hal krusial yang akan dikonsultasikan Mendagri kepada Presiden, yakni soal syarat dukungan calon independen, calon kepala daerah mundur atau tidak dari jabatannya, dan praktik politik uang.

Soal calon independen, pemerintah bersikukuh untuk mempertahankan syarat minimal dukungan kepada calon kepala daerah dari jalur perseorangan yakni 6,5-10 persen.

Dalam beberapa kali rapat kerja, Komisi II DPR RI menilai syarat minimal dukungan calon kepala daerah tidak seimbang sehinggga mengusulkan syarat dukungan kepada calon perseorangan dibaikkan atau syarat dukungan calon yang diusung partai politik diturunkan.

Menurut dia, dari hasil simulasi pemerintah di beberapa daerah di Jawa Timur menemukan syarat dukungan untuk calon dari partai politik pada kisaran 15-20 persen yakni turun dari persyaratan dalam UU Pilkada, 20-25 persen.

Hasil simulasi tersebut, menurut dia, sama dengan usulan komisi II DPR RI, tapi pemerintah belum ingin menyetujuinya karena masih akan konsultasi dengan Presiden.

Kedua, soal calon kepala daerah mundur atau tidak dari jabatannya. Menurut Lukman, dalam UU No 8 tahun 2015 tentang Pilkada mengatur, anggota legislatif yang maju sebagai calon kepala daerah harus mundur dari keanggotaan di DPR RI dan DPRD setelah ditetapkan KPU sebagai calon kepala daerah.

Sedangkan, calon kepala daerah petahana tidak mundur tapi hanya mengambil cuti saat kampanye, sehingga sejak ditetapkan KPU sebagai calon kepala daerah dapat memanfaatkan jabatannya untuk melakukan kampanye.

DPR RI menilai, kata Lukman, persyaratan ini tidak adil sehingga mengusulkan, anggota legislatif yang maju sebagai calon kepala daerah tidak perlu mundur, tapi cuti di luar tanggungan negara.

Kemudian, TNI, Polri, dan pejabat sipil yang maju sebagai calon kepala daerah, tidak diperkenankan dalam UU khusus yakni UU TNI, UU Polri, serta UU ASN.

Soal praktik politik uang. Menurut Lukman, praktik politik uang sering terjadi dan dalam pembahasan revisi UU Pilkada praktik ini masuk dalam kategori pelanggaran administratif.

Ia memaparkan sanksinya calon kepala daerah dapat dibatalkan atau didiskualifikasi. Bawaslu yang memiliki kewenangan untuk memutuskan diskualifikasi tersebut dan kemudian disetujui oleh KPU.

Berbagai kepentingan memang mewarnai proses pembahasan revisi undang-undang tentang pilkada, namun lepas dari semua kepentingan itu, muara akhir dari perbaikan aturan pemilihan kepala daerah seharusnya adalah sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: