Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

DPR Minta Pemerintah Seriusi 'Roadmap' Kemandirian Pertahanan

DPR Minta Pemerintah Seriusi 'Roadmap' Kemandirian Pertahanan Kredit Foto: Checkitout.info
Warta Ekonomi, Jakarta -

Dewan Perwakilan Rakyat meminta pemerintah serius mewujudkan peta jalan atau "roadmap" kemandirian pertahanan, setidaknya berani menargetkan 70 persen alat utama sistem persenjataan diproduksi dalam negeri.

"Setidaknya pada periode ini Presiden harus berani pasang target di tahun 2019, 60 hingga 70 persen alutsista diproduksi oleh dalam negeri, ini angka optimis yang perlu diperjuangkan demi kemandirian pertahanan," kata Anggota Komisi I DPR Sukamta di Jakarta, Kamis (27/10/2016).

Dia menilai salah satu janji yang harus menjadi perhatian pemerintah adalah upaya mewujudkan kemandirian pertahanan karena dirinya melihat sejauh ini belanja impor persenjataan masih tinggi.

Sukamta mencontohkan data yang dirilis Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), besarnya nilai impor alutsista Indonesia pada 2015 mencapai 683 juta dolar AS atau sekitar Rp9,3 triliun.

"Itu merupakan nilai terbesar di ASEAN jauh lebih besar dibandingkan belanja dari industri pertahanan dalam negeri yang bernilai Rp1,5 triliun di tahun yang sama," ujarnya.

Dia mengapresiasi Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo yang melarang pembelian senjata organik buatan luar negeri untuk para prajuritnya.

Politikus PKS itu, menjelaskan janji kedua harus menjadi perhatian yaitu soal peningkatan anggaran pertahanan hingga 1,5 persen dari PDB.

Dia menjelaskan merujuk pagu dalam APBNP 2016, anggaran pertahanan tercatat sebesar Rp97,6 triliun atau sebesar 0,85 persen dari PDB. Angka itu tentu masih jauh dari janji Presiden sebesar 1,5 persen PDB.

"Hingga saat ini belanja pertahanan Indonesia jika dibandingkan dengan PDB secara rata-rata masih yang terkecil di ASEAN yang rata-rata mencapai 2,2 persen PDB," katanya.

Kondisi itu, menurut dia, berakibat daya dukung sarana prasarana pertahanan di Indonesia masih terbatas.

Dia menjelaskan berdasarkan data TNI AL hingga akhir 2015, Indonesia hanya memiliki 145 KRI, itupun 50 persen baru dalam proses peremajaan.

"Jelas kondisi ini tidak ideal untuk menegakkan keamanan di laut Indonesia. Dia berharap Presiden memberikan perhatian di sektor pertahanan, agar kedaulatan Indonesia tetap terjaga dengan baik," ujarnya.

Selain itu, menurut dia, sorotan lain yang perlu menjadi perhatian pemerintah adalah soal kesejahteraan TNI.

Dia memandang profesionalitas TNI sudah membaik dari waktu ke waktu dan seharusnya pemerintah mengimbangi dengan peningkatan kesejahteraan yang lebih baik.

"Pada periode ini memang sudah ditingkatkan gaji pokok golongan tamtama terendah dinaikkan menjadi Rp1.565.200 per bulan, sedangkan gaji pokok tertinggi golongan perwira tinggi naik menjadi Rp5.646.100," katanya.

Namun, kenaikan itu masih jauh jika dibandingkan dengan negara tetangga, Misalnya seorang sersan satu di Malaysia bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan gaji seorang jenderal, laksamana, dan marsekal di Indonesia yang hanya memperoleh gajiRp5,3 juta per bulan.

Dia mencontohkan gaji seorang jenderal di Malaysia mencapai Rp23,4 juta per bulan, remunerasi gaji yang sudah dilakukan perlu untuk ditingkatkan.

"Standar penggajian saya kira penting dengan mempertimbangkan faktor risiko pekerjaan. Prajurit TNI merupakan garda terdepan bangsa, layak untuk mendapatkan kesejahteraan yang memadai," ujarnya. (Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Sucipto

Advertisement

Bagikan Artikel: