Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menginginkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memperbaiki mekanisme perizinan kapal tangkap ikan karena tahap perizinan yang ada dinilai cenderung berpotensi disalahgunakan.
"Problem terkait perizinan antara lain nelayan kurang paham prosedur pengurusan surat, durasi pengurusan 1-5 bulan, maraknya calo, pungutan liar," kata Sekrataris Jenderal Kiara Abdul Halim dalam diskusi di Jakarta, Kamis (18/8/2016).
Menurut Abdul Halim, dahulu Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menjanjikan ada gerai terpadu untuk kapal ikan yang akan melakukan pengukuran bobot terkait dengan perizinan kapal, tetapi gerai itu dinilai tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Sekjen Kiara berpendapat bahwa pihak yang seharusnya bersama-sama dengan Kementerian Perhubungan melakukan pengukuran bobot kapal bukanlah Satgas Anti Penangkapan Ikan Secara Ilegal, tetapi mestinya Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP.
Satgas, ujar dia, seharusnya bermanfaat seperti lembaga staf khusus yang memberikan nasihat kepada menteri karena peran Satgas pada saat ini dinilai hanya menciptakan kelembagaan baru yang sebenarnya mengerjakan fungsi yang dapat dilakukan oleh organ lembaga yang sudah ada.
Sebagaimana diketahui, sejak Juli 2015-Juli 2016, KKP telah memberikan 265 izin untuk kapal penangkap ikan di perairan Indonesia, dari sebanyak 2.245 izin yang diajukan oleh pemilik kapal.
Alasan penolakan dari mayoritas kapal antara lain adalah karena tidak ada alasan, masih perlu dilakukan verifikasi, serta belum memiliki kelengkapan dokumen kapal.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang telah melakukan inspeksi mendadak ke Pelabuhan Benoa, Bali, awal Agustus 2016, menemukan modus operandi kejahatan di mana kapal eks-asing berubah wujud seakan-akan seperti kapal lokal.
"Kapal yang sebelumnya berbahan fiber, masuk ke dock dan kemudian dilapisi kayu. Sehingga dalam pendaftaran kapal baru, kapal tersebut terdaftar sebagai kapal kayu buatan galangan kapal dalam negeri," kata Menteri Susi.
Dari hasil sidaknya di Pelabuhan Perikanan Benoa, Denpasar, Selasa (2/8) terungkap sebanyak 56 kapal eks asing ditemukan beroperasi dengan wujud kapal lokal selama Desember 2015 sampai Juli 2016.
Di Pelabuhan Benoa ini, berdasarkan investigasi Satgas 115 ternyata banyak ditemukan kapal eks asing yang seharusnya pulang ke negaranya untuk melakukan deregistrasi, namun malah memodifikasi kapal dan kembali ke laut seolah-olah menjadi kapal Indonesia.
Susi menjelaskan, sebelum moratorium tercatat sekitar 1.000 kapal yang beroperasi dari Pelabuhan Umum Benoa, termasuk sebagian diantaranya merupakan kapal eks asing.
Dari hasil Analisis dan Evaluasi Kapal Perikanan yang Pembangunannya dilakukan di Luar Negeri (Anev Kapal Eks Asing), pertanggal 3 November 2014, terdapat 152 kapal eks-asing yang dimiliki 62 pemilik kapal, yang beroperasi di pelabuhan tersebut.
Selama moratorium, kapal-kapal tersebut dilarang melakukan kegiatan usaha penangkapan ikan, sehingga harus tetap berada di pelabuhan.
Selain berkurangnya jumlah kapal eks asing, inspeksi yang dilakukan juga menemukan sejumlah praktik kecurangan, antara lain praktik pergantian nama dan kebangsaan kapal secara ilegal, praktik penyalahgunaan dokumen kapal. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait: