Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mendorong pengrajin mebel dan ukir di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, memiliki sertifikat sistem verifikasi legalitas kayu karena pemerintah siap membiayai pengurusan dokumen tersebut.
"Pembiayaan pengurusan SVLK tersebut dikhususkan untuk industri rakyat, sedangkan industri besar tentunya harus membiayai sendiri," kata Menteri ketika ditemui usai berdialog dengan para pengrajin mebel dan ukir di sentra Patung Desa Mulyoharjo, Kecamatan Jepara Kota, Jepara, Selasa (25/10/2016).
Menurut dia, industri kecil memang pantas mendapatkan dukungan dari negara lewat bantuan pembiayaan dalam pengurusan dokumen tersebut karena mereka mau produktif.
Alasan pembiayaan tersebut dibebankan lewat APBN, kata dia, informasi yang ada bahwa pengurusan SVLK dinilai sulit bagi industri rakyat.
"Karena pemerintah menginginkan adanya kemudahan dalam pengurusan perizinan, maka untuk pengurusan SVLK juga demikian harus dipermudah," ujarnya didampingi Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Hendroyono.
Untuk penganggarannya, lanjut dia, pada awal 2013 bisa mencapai Rp5 miliar, kemudian ada penyesuaian sehingga lebih rendah.
"Kami perkirakan setelah ada penyesuaian berkisar Rp2 hingga Rp2,5 miliar per tahun," ujarnya.
Dalam rangka meningkatkan kepemilikan SVLK tersebut, kata dia, perlu ada sinergi antar berbagai kementerian dan pemerintah daerah.
"Pengrajin harus disadarkan agar memiliki kemauan untuk memiliki SVLK," ujarnya.
Ia menjelaskan, keberadaan SVLK karena kayu-kayu ilegal yang diambil dibawa ke luar negeri, melalui Sandakan di Malaysia, serta ada yang dari Papua dibawa ke Surabaya dan seterusnya hingga akhirnya ke China dan ada yang ke Vietnam.
"Kayu-kayu Indonesia itu terlihat dari data statistik menurut ekspor sekian, tetapi menurut perdagangan riil ternyata berkali lipat," ujarnya.
Untuk itu, jelas Siti, Indonesia ingin keluar dari persoalan penebangan liar itu," ujarnya.
Dengan adanya SVLK, kata dia, pengecekan dan pemeriksaan apakah kayunya diambil di hutan secara ilegal atau tidak.
"Lebih baik, Indonesia terlebih dahulu menyatakan diri legal, dari pada dituduh perambahan hutan. Dengan demikian, seluruh kayu Indonesia harus berbunyi legal," ujarnya.
Apabila tidak melangkah lebih awal, kata dia, negara lain, seperti Malaysia, China maupun Vietnam bisa saja menggunakan kayu dari Indonesia, namun diklaim kayu mereka padahal diambil secara ilegal dari Indonesia.
Pemeriksaan legalitas kayu, lanjut dia, bertujuan untuk menjaga kayu-kayu di dalam negeri agar dinilai legal oleh dunia internasonal.
Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Hendroyono menambahkan, bahwa selama SVLK sedang dalam proses, maka dokumen cukup pakai nota jika bisa dipastikan bahwa kayunya dari hutan rakyat.
"Jika benar kayu bulat dari hutan rakyat, dari sisi dokumen cukup pakai nota saja karena rakyat yang menanam, maka rakyat yang bisa mengatakan itu," ujarnya.
Ketika bahan baku tersebut masuk ke pengrajin mebel, kata dia, harus menyatakan dengan deklarasi kesesuaian pemasok.
Pengrajin mebel, kata dia, nantinya jangan hanya deklarasi terus, tetapi harus punya setifikat legalitas kayu karena pemerintah siap membiayai pengurusan SVLK.
Apabila memiliki sertifikat, kata Bambang, masa berlakunya hingga enam tahun dan survelen dua tahun sekali serta akan ditinjau kembali agar bisa lebih mudah.
Untuk eksportir, kata dia, ketika masih mengurus SVLK bisa memanfaatkan kebijakan verifikasi legalitas bahan baku ketika bahan baku yang digunakan belum dilengkapi SVLK atau deklarasi.
Berdasarkan keterangan dari sejumlah pengrajin mebel dan ukir di Desa Mulyoharjo, jumlah pengrajin yang memiliki SVLK diperkirakan baru lima pengrajin dari 250 pengrajin. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait: