Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Menanti Taji Moneter Mengungkit Perekonomian

        Menanti Taji Moneter Mengungkit Perekonomian Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Kebijakan moneter kerap kali diumpamakan sebagai kebijakan dalam "kotak hitam" atau "misteri" karena kompleksitasnya dalam menyalurkan manfaat ke kegiatan perekonomian.

        Ketika bank sentral menaikkan atau menurunkan instrumen kebijakan moneter seperti suku bunga acuan, manfaatnya perlu melewati berbagai variabel terlebih dahulu seperti suku bunga bank, saluran kredit, harga aset, nilai tukar dan ekspektasi, hingga menuju sasaran akhir yakni inflasi yang terkendali.

        Kegiatan ekonomi di dunia yang saling terkait telah membuktikan bahwa pergerakan kebijakan moneter sebuah bank sentral akan sangat mempengaruhi aktivitas ekonomi.

        Awal 2015, ketika Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat The Federal Reserve Jannet Yellen melontarkan sinyal untuk menaikkan suku bunga acuan (Fed Fund Rate) setelah ekonomi AS membaik, pasar keuangan global termasuk Indonesia langsung bereaksi.

        Ketidakpastian kenaikan suku bunga The Fed menimbulkan gejolak di pasar keuangan global. Negara-negara "emerging market" yang selama ini "ketiban rezeki" karena arus dana segar dari AS harus bersiap akan kembalinya dana tersebut.

        Penyebabnya ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed dan mulai pulihnya ekonomi AS. Harga saham di bursa Wall Street bergejolak. Dolar AS pun terus perkasa terhadap mata uang negara lain, termasuk rupiah.

        Ya, sinyal kebijakan dari bank sentral saja dapat memengaruhi peredaran uang, yang selanjutnya akan mempengaruhi variabel suku bunga, kredit, nilai tukar, serta berbagai variabel lainnya. Bank Indonesia (BI), sebagai otoritas moneter di Indonesia, menyebut hal ini sebagai transmisi kebijakan moneter.

        Pada tahun ini, BI menelurkan kebijakan besar dengan mengganti instrumen suku bunga acuan yang sudah berlaku selama 11 tahun, Bank Indonesia Rate (BI Rate), menjadi BI "7-Day Reverse Repo Rate".

        7-Day Reverse Repo Rate merupakan transaksi pembelian bersyarat surat berharga oleh bank kepada BI dengan kewajiban penjualan kembali sesuai dengan harga dan jangka waktu yang disepakati.

        Penggantian BI Rate menjadi BI 7-Day Reverse Repo Rate ini merupakan penguatan kerangka operasi moneter. Sejak 2010, BI Rate dinilai sudah tidak efektif mentransmisikan kebijakan moneter, terutama untuk menurunkan suku bunga kredit perbankan.

        Hal itu karena pada 2010, penggelontoran stimulus yang dilakukan Amerika Serikat telah membuat dana melimpah di Pasar Uang Antar Bank (PUAB). PUAB merupakan transaksi pinjam-meminjam antarbank yang berlangsung setiap waktu. Dalam mekanismenya, jika terdapat bank yang kekurangan dana, maka bank tersebut dapat meminjam dana ke bank lain melalui PUAB.

        Ekses likuiditas akibat penggelontoran stimulus dari AS pada 2010 membuat suku bunga PUAB untuk jangka pendek terus menurun mendekati bunga penyimpanan dana perbankan di BI (deposit facility). Padahal jangkar BI rate tidak bisa diturunkan karena laju inflasi yang tinggi saat itu.

        Alhasil terdapat perbedaan yang cukup besar antara suku bunga PUAB berjangka pendek dengan BI Rate yang memiliki tenor 12 bulan.

        Dengan kondisi tersebut, transmisi kebijakan moneter menjadi kurang efektif dalam memengaruhi suku bunga di pasar. Perbankan seakan acuh dengan pergerakan BI Rate. BI Rate mungkin ampuh ketika mengendalikan inflasi, namun tidak efektif menggerakkan suku bunga pasar dan perbankan.

        Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan, atas dasar hal tersebut, BI perlu memperkuat kerangka operasi moneternya, dengan menggunakan 7-Day Reverse Repo Rate sebagai referensi suku bunga acuan terbaru yang efektif per 19 Agustus 2016.

        "BI ingin mendekatkan suku bunga kebijakan ke arah tenor yang diacu pasar uang, yaitu tenor yang lebih pendek," kata Mirza Adityaswara.

        Sejalan dengan itu, BI pun mulai menggeser sasaran utama kebijakan moneternya. Jika sebelumnya BI hanya berkiblat pada sasaran akhir inflasi, kini BI ingin berkontribusi lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Pergeseran sasaran instrumen moneter BI ini setelah inflasi terus berada di tingkat rendah dan dianggap tidak akan mengganggu stabilitas perekonomian.

        BI meyakini inflasi akan berada di rentang 3-3,5 persen pada tahun ini atau berada di bias bawah rentang yang dijaga BI di 3-5 persen.

        "Inflasi tidak lagi menjadi isu (masalah) tahun ini," kata Direktur Eksekutif Kebijakan Moneter dan Ekonomi BI Juda Agung.

        Masih Terhambat Dari Januari hingga Oktober 2016, BI sudah enam kali menurunkan suku bunga acuan dengan total 150 basis poin. Rinciannya, empat kali total 100 basis poin saat masih menggunakan BI Rate dan dua kali sebesar 50 basis poin saat sudah menggunakan 7-Day Reverse Repo.

        Efektivitas transmisi kebijakan moneter diklaim BI sudah mulai terasa setelah diperkenalkannya 7-Day Reverse Repo Rate pada 15 April 2016.

        Sejak diperkenalkan pada April 2016, referensi suku bunga mengalami masa transisi untuk berganti menjadi 7-Day Reverse Repo hingga efektif berlaku pada 19 Agustus 2016.

        Selama masa transisi itu, dalam setiap kebijakan moneternya, BI selalu mengumumkan struktur suku bunga (term structure) operasi moneter BI.

        Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo mengklaim selama masa transisi tersebut, struktur suku bunga pasar telah terbentuk dan efektif diikuti pelaku pasar.

        Namun, untuk transmisi ke suku bunga kredit sendiri, Perry mengakui masih terdapat kendala. Hingga Oktober, dengan penurunan suku bunga acuan 150 basis poin, suku bunga kredit bank baru turun 60 basis poin, sementara suku bunga deposito sebesar 108 basis poin.

        Perry mengatakan perbankan masih sulit menurunkan suku bunga kredit, karena kualitas kredit sendiri masih payah. Indikatornya rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) terus meningkat. Hingga akhir Juli 2016, NPL perbankan tercatat sebesar 3,2 persen (gross) atau 1,5 persen (net). Dibandingkan Juli 2015, NPL perbankan saat itu baru 2,7 persen (gross) NPL yang tinggi akan membuat bank gamang untuk menurunkan suku bunga kredit, karena perbankan juga harus mengalokasikan pendapatannya untuk biaya pencadangan NPL. Dengan begitu, meski beban biaya dana (cost of fund) dari deposito sudah turun, perbankan masih enggan menurunkan suku bunga kredit, karena pendapatannya bisa tergerus.

        "Suku bunga kredit baru turun 60 basis poin, padahal kita sudah turunkan suku bunga kebijakan 150 basis poin. Jadi 'cost of fund' sudah turun cuma suku bunga kredit belum turun karena bank naikkan cadangan," kata Perry.

        Perry melihat salah satu jalan untuk memperbaiki NPL perbankan dan mendorong pertumbuhan kredit adalah percepatan pemulihan ekonomi domestik. Di sinilah, kata Perry, salah satu bukti pentingnya koordinasi kebijakan moneter dan fiskal.

        Instrumen dan kebijakan fiskal merupakan otoritas pemerintah sebagai pengelola keuangan negara. Pemerintah punya tugas penting untuk menjaga proses pemulihan ekonomi melalui percepatan realisasi anggaran dan juga menjaga konsistensi reformasi struktural perekonomian.

        Realisasi anggaran dapat memicu investasi swasta dan konsumsi masyarakat. Dengan begitu, diharapkan Kredit Modal Kerja dan Kredit Investasi di perbankan dapat terkerek naik. Permintaan kredit yang melimpah tentu akan menekan tingkat bunga untuk lebih rendah.

        Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution juga merasa aneh bahwa suku bunga kredit perbankan sulit untuk turun. Dia meminta BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Keuangan untuk mempererat koordinasi.

        "Kalau sudah tiga kali berturut-turut BI 7-Days Repo Rate turun, tingkat bunga tidak turun, aneh," kata Darmin.

        Kementerian Keuangan juga perlu diajak berkoordinasi agar suku bunga obligasi negara turun. Tujuannya, agar pasar tidak beralih menempatkan dananya dari simpanan di bank ke Surat Berharga Negara (SBN), lantaran imbal hasilnya besar.

        Darmin berharap, likuiditas di pasar tersebar merata di semua instrumen investasi baik perbankan, pasar modal, ataupun sektor lainnya. Dengan begitu, sistem keuangan bisa terjaga stabilitasnya.

        Direktur Utama PT Bank Central Asia (BCA) Tbk Jahja Setiaatmadja menyarankan BI jangan hanya bermain di instrumen suku bunga, namun juga harus jeli dengan menurunkan suku bunga Giro Wajib Minimum Primer (GWM-P) di sisa tahun agar secara langsung dapat menambah likuiditas perbankan.

        "Kalau GWM turun, itu langsung ada dampak ke Dana Pihak Ketiga dan ada dana likuiditas segar," ujarnya.

        Hingga Oktober 2016, ketika suku bunga acuan sudah diturunkan secara agresif menjadi 4,75 persen, BI melihat pertumbuhan kredit hanya akan satu digit di 7-9 persen.

        OJK bahkan memperkirakan pertumbuhan kredit yang lebih rendah di 6-8 persen, padahal di awal tahun OJK yakin kredit perbankan dapat tumbuh dua digit di 12-13 persen. (Ant/Indra Arief Pribadi)

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Sucipto

        Bagikan Artikel: