Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) Provinsi Bali menyatakan BPR di daerahnya mulai mengurangi ekspansi pembiayaan untuk sektor properti karena menyumbang kredit bermasalah cukup signifikan.
"Sekarang BPR, karena properti melambat, sehingga BPR mengurangi ekspansi ke properti (menjadi) ke sektor lain yang mungkin tumbuh dan berkembang," kata Ketua Perbarindo Bali, Ketut Wiratjana di Denpasar, Minggu (27/11/2016).
Menurut dia, saat ini BPR akan lebih optimal mengarahkan pembiayaan kredit ke sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Meski belum mengetahui persentase peralihan pembiayaan yang semula kebanyakan sektor properti ke sektor lain, namun ia meyakini masing-masing BPR akan mengerem ekspansi di sektor yang sudah mengalami kejenuhan tersebut.
Dari catatan kinerja perbankan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Regional 8 Bali dan Nusa Tenggara, NPL BPR di Bali meningkat dari 2,69 persen menjadi 5,75 persen selama sembilan bulan terakhir namun angka itu masih di bawah rasio nasional yang mencapai 6,56 persen.
Wiratjana menilai melonjaknya NPL atau kredit bermasalah itu didorong perlambatan pertumbuhan ekonomi yang menyebabkan pelaku usaha yang memanfaatkan BPR sebagai sumber pembiayaan, tidak mampu memenuhi kewajiban.
Selain karena faktor eksternal itu, ia juga tidak memungkiri faktor NPL juga didorong internal BPR meskipun ia mengakui bahwa sudah dilakukan upaya restrukturisasi dan pendekatan ke debitur untuk segera memenuhi kewajiban.
"Teman-teman di BPR juga sudah melakukan restrukturisasi dan kedua lebih intens melakukan pendekatan ke debitur sehingga mereka berusaha mencicil," katanya.
Otoritas Jasa Keuangan Regional 8 Bali dan Nusa Tenggara mencatat realisasi kredit BPR di Bali lebih banyak terkonsentrasi di sektor konsumsi, perdagangan dan "real estate" atau properti.
Hingga September 2016, realisasi kredit sektor konsumsi yang masuk sektor bukan lapangan usaha mencapai Rp2,73 triliun atau melonjak 9,2 persen sebesar Rp231 miliar dibandingkan September 2015.
Sektor perdagangan mencapai Rp2,52 triliun atau melonjak 1,8 persen sebesar Rp45 miliar dan sektor properti sebesar Rp1,17 triliun atau menurun hampir empat persen dari periode sama tahun 2015 yang mencapai Rp1,22 triliun.
Namun pada kenyataannya, sektor-sektor tersebut malah menyumbang angka kredit macet (NPL) tinggi hingga September 2016.
Sektor konstruksi misalnya yang merupakan turunan dari "real estete mencapai 9,98 persen dan real estate mencapai 4,08 persen serta sektor bukan lapangan usaha mencapai 5,24 persen. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait: