Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terus melakukan pemantapan strategi induk industri pengolahan kayu dari hulu hingga hilir.
"Dari hasil bedah kinerja yang dilakukan oleh KLHK, melemahnya poduktivitas industri selama ini akibat berbagai faktor fisik maupun sosial ekonomi," ujar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, di Jakarta, Kamis (15/12/2016).
Beberapa masalah mendera, seperti persepsi publik belum positif, "interlink" industri hulu-hilir belum cukup ideal dan diantaranya juga berciri paradoksi; rantai bisnis serta dukungan-dukungannya belum cukup kuat seperti infrastruktur dan sumber bahan bahan baku serta finansial.
"Apalagi bila dikaitkan dengan cukup banyaknya distorsi atau peristiwa-peristiwa lokalitas konflik tenurial yang sedikit banyak diantaranya dapat mengguncang usaha." Sementara dari sisi pengusaha (APHI), disebutkan beberapa masalah yang juga cukup signifikan yaitu permasalahan distorsi harga kayu bulat, biaya produksi, daya saing industri yang rendah, konflik lahan, serta indikasi ketidak-pastian usaha.
Namun, yang paling serius menyangkut konflik tenurial dan klaim-klaim atas tanah dan klaim-klaim mengaku masyarakat lokal seperti yang sedang terjadi sekarang ini.
"Dari kerja kebijakan satu peta, terindikasi bahwa satu poligon wilayah perijinan terindikasi tumpang tindih. Saya sudah meminta jajaran teknis untuk menata dengan sebaik-baiknya, bangun aturan mainnya untuk menjadi bahan diskusi yang harus dipimpin oleh pemerintah sebagai simpul negosiasi," tegas dia.
Aturan main tersebut sangat penting untuk dibangun sebelum nanti akan diundang entitas-entitas bisnis yang berada dalam satu poligon untuk penyelesaiannya.
"Posisi pemerintah sangat jelas yaitu sebagai simpul negosiasi segala kepentingan. Oleh karena itu pemerintah akan berada pada posisi sesuai sasaran pembangunan nasional." Menteri Siti kembali menegaskan, bahwa pemerintah menaruh perhatian besar terhadap industri pengolahan kayu, dan industri kehutanan secara menyeluruh. Namun harus dapat betul-betul diletakkan dalam kerangka pembangunan nasional secara utuh, tidak dapat lagi berdiri sendiri tanpa keterkaitan.
Perkembangan demokratisasi,kata Menteri Siti, menuntut kita pada upaya-upaya pembangunan termasuk pembangunan industri pengolahan kayu dan industri kehutanan secara menyeluruh dan pendekatan yang holistik dengan satu konsep pada pemerintah yang sekarang yaitu konsep keadilan.
Maknanya bahwa kemajuan industri dalam hal ini industri pengolahan kayu harus sekaligus menunjukkan dan nyata-nyata membawa dan mengangkat kemajuan masyarakat. Kemajuan dalam arti tidak hanya pendapatan tetapi juga menjadikan usaha kecil masyarakat atau menengah sebagai skala industri yang sistematis dan memiliki "technical know how" serta mengarah dan menuju dan sampai pada ciri manajemen sistematis dan modern.
Dalam 10 tahun terakhir komposisi pemanfaatan hutan antara usaha besar dan kecil di Indonesia tidak berubah. Komposisinya adalah 97 persen untuk usaha besar dan tiga persen untuk usaha kecil. Ditambah lagi dengan terjadinya degradasi dan konversi hutan negara.
Skema perizinan pemanfaatan hasil hutan kayu dari hutan alam (IUPHHK-HA), hutan tanaman (IUPHHK-HT), dan tambang melalui izin pinjam pakai kawasan hutan (IUPPKH), secara de facto telah mewujudkan konversi hutan alam secara sistematis. Peran IUPHHK-HA dalam menghasilkan kayu bulat selama 10 tahun terakhir telah digantikan oleh IUPHHK-HT. Dalam waktu yang sama juga terjadi peningkatan usaha tambang (IUPPKH).
Data APHI 2013 menunjukkan sejumlah 179 perusahaan IUPHHK-HA dan 139 perusahaan IUPHHK-HT mengalami penurunan dahsyat. Apabila ini benar terjadi akan terdapat 39 juta ha hutan produksi menjadi akses terbuka.
"Kondisi ini akan semakin mempermudah usaha-usaha masuk di hutan produksi, dan menambah masalah," jelas Menteri Siti.
Oleh karena itu, kebijakan alokasi sumber daya alam termasuk hutan yang selama ini mendapat stigma lebih berpihak kepada korporasi, telah mulai ditata oleh pemerintah, dengan melakukan koreksi akan keberpihakan dalam pengembangan kebijakan alokatif sumberdaya lahan, khususnya hutan.
"Kebijakan ini harus dilakukan untuk mewujudkan cita-cita keadilan bagi rakyat banyak," tegas dia.
Untuk itulah, salah satu dari skema perhutanan sosial yang sedang dikembangkan oleh pemerintah akan mengait sangat erat dengan entitas bisnis.
"Oleh karena kita mau tidak mau sekarang sudah harus mengajak usaha masyarakat kedalam pola bisnis korporat dan fasilitasi kita bersama untuk mengangkat small holders bergerak maju seiring dengan kemajuan entitas bisnis, dunia usaha perkayuan kita. Ini memang harus kita lakukan, dengan prinsip dari bapak Presiden Jokowi yaitu prinsip keadilan," jelas Menteri Siti.
Kemajuan dunia usaha dan bisnis industri pengolahan kayu, harus beriringan dengan kemajuan masyarakat tepi hutan untuk juga dapat maju dari akses kelola kawasan, sebagai salah satu dari skema perhutanan sosial.
"Konstitusi kita menegaskan bahwa bumi dan kekayaan alam Indonesia untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan menjadi manusia yang produktif juga merupakan salah satu dari unsur hak azasi manusia. UUD 1945 menjamin hal tersebut. Jadi kebijakan perhutanan sosial, bukan hanya soal perizinan semata, melainkan soal pintu masuk, akses kelola hutan menuju kesejahteraan," jelas dia. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto
Tag Terkait: