Pada 1 Juli 2016, Presiden Joko Widodo mengesahkan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Amnesti Pajak (UU Amnesti Pajak), yang kemudian menuai kontroversi di berbagai kalangan.
Undang Undang ini pun akhirnya diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada akhir Juli 2016, dan tiga perkara sekaligus disidangkan di MK pada Rabu (27/7).
Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) tercatat sebagai Pemohon dari perkara nomor 57, yang mempersoalkan ketentuan Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 7, Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 5, Pasal 11 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 19 ayat (1) dan (2), Pasal 21 ayat (2) Pasal 22 serta Pasal 23 UU Pengampunan Pajak.
SPRI mempermasalahkan frasa "pengampunan" pada UU Amnesti Pajak karena Pemohon menilai bahwa seharusnya pajak memiliki sifat yang memaksa bukan membebaskan para pengemplang pajak dari hukuman atau tuntutan.
SPRI berpendapat bahwa melalui ketentuan ini, negara telah melakukan pembiaran atas kejahatan pajak yang telah dilakukan oleh para pengemplang pajak melalui program amnesti pajak.
Selain itu, UU Amnesti Pajak juga disebutkan oleh SPRI memberikan perlakuan yang bersifat eksklusif bagi para calon pengampun pajak sehingga memunculkan diskriminasi antara penggelap pajak dan wajib pajak yang taat.
Yayasan Satu Keadilan (YSK) yang tercatat sebagai Pemohon dari perkara nomor 58, serta warga Indonesia perorangan bernama Leni Indrawati dengan nomor perkara 59, juga menyatakan hal yang serupa dengan SPRI, bahwa ketentuan UU Amnesti Pajak merupakan bentuk diskriminasi yang dilakukan pemerintah.
Pemerintah dinilai cenderung memberikan perlakuan khusus kepada wajib pajak yang tidak taat dalam melakukan pembayaran pajak.
Selanjutnya pada Rabu (31/8) UU Amnesti Pajak ini kembali digugat oleh Dewan Pengurus Pusat Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (DPP SBSI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), dengan nomor perkara 63.
Ketiga organisasi buruh ini mendalilkan UU Pengampunan Pajak menciderai rasa keadilan buruh sebagai pembayar pajak.
Buruh dikenai tindakan ketat wajib membayar pajak yang pembayarannya dilakukan pengusaha, namun para pengusaha pengemplang pajak akan diampuni hukumannya baik itu administrasi maupun pidana, sehingga menciderai rasa keadilan buruh yang selama ini patuh membayar pajak.
Mendengarkan Keterangan Pada Selasa (20/9) Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan keterangan selaku pihak pemerintah dalam persidangan di MK.
Dalam keterangannya tersebut Menteri Sri menyebutkan program amnesti pajak justru memberikan keuntungan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
"Setidaknya ada tiga manfaat pengampunan pajak yang akan menguntungkan perekonomian nasional," ujar Menteri Sri.
Keuntungan dari program amnesti pajak dikatakan Menteri Sri adalah adanya dana repatriasi yang dapat menggerakkan perekonomian nasional. Kemudian, uang tebusan tax amnesty dapat digunakan secara langsung bagi pembangunan.
Selain itu, ia menjelaskan terjaminnya penerimaan pajak secara berkelanjutan karena kebijakan pengampunan pajak akan menciptakan subjek dan objek pajak baru.
Menteri Sri juga menanggapi dalil para Pemohon dengan menyatakan bahwa kebijakan amnesti pajak lebih merupakan sarana kebijakan agar wajib pajak dapat menarik dana atau hartanya yang selama ini ditempatkan di luar negeri. Kemudian, dapat ditempatkan di dalam negeri untuk menggerakkan perokonomian nasional dan agar wajib pajak dapat menyampaikan secara jujur harta maupun pendapatannya.
"Justru dengan kebijakan ini, Pemerintah akan mampu membangun suatu basis data baru terutama data dari lapisan masyarakat yang terkaya untuk memulai kepatuhan dan pemenuhan kewajiban perpajakannya secara konsisten pada masa-masa yang akan datang," tegasnya.
Pada kesempatan yang sama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diwakili oleh anggota DPR Komisi XI Melchias Marcus Mekeng menjelaskan bahwa UU Amnesti Pajak merupakan salah satu terobosan kebijakan untuk mendongkrak tingkat kepatuhan wajib pajak dan meningkatkan penerimaan pajak.
Melchias mengungkapkan amnesti pajak perlu dipertimbangkan secara khusus oleh Pemerintah Indonesia untuk memberikan kesempatan terakhir bagi wajib pajak yang melakukan onshore maupun offshore tax evasion dengan tujuan utama sebagai wahana rekonsililasi perpajakan nasional.
Selain mendengarkan keterangan dari Pemerintah dan DPR, baik Pemohon maupun Pemerintah juga menghadirkan ahli untuk memberikan keterangan.
Lebih dari 15 ahli dalam bidang hukum tata negara, serta perekonomian dan perpajakan memberikan keterangan baik secara tertulis maupun dalam persidangan di MK.
Pemohon menghadirkan tiga orang ahli untuk didengar keterangannya dalam persidangan dan sejumlah ahli yang memberikan keterangan tertulis. Tiga ahli yang memberikan keterangan secara lisan di dalam persidangan adalah Salamudin Daeng, H. Makmur Amir, dan Akhmad Akbar Susamto.
Sementara itu pemerintah menghadirkan 12 ahli untuk memberikan keterangan baik secara lisan maupun tertulis, salah satunya adalah ekonom sekaligus mantan Menteri Keuangan Muhamad Chatib Basri.
Putusan Mahkamah Setelah melalui delapan kali persidangan, Mahkamah pada Rabu (14/12) membacakan putusan Mahkamah yang menyatakan menolak permohonan uji materi UU Amnesti Pajak yang diajukan SPRI dan YSK.
Dalam pertimbangannya yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna, Mahkamah mengutip keterangan Menteri Sri yang menilai adanya tiga tujuan diberlakukannya kebijakan amnesti pajak.
Mahkamah juga berpendapat bahwa pemberlakuan kebijakan amnesti pajak akan menciptakan struktur perpajakan yang adil.
Sebab, dengan terbukanya data harta atau kekayaan para wajib pajak melalui pelaporan oleh wajib pajak sendiri, maka kontribusi dari PPh orang pribadi akan menjadi penyumbang terbesar pendapatan dari sektor pajak.
Mahkamah pun berpendapat diberlakukannya kebijakan amnesti pajak bukan berarti negara melindungi kejahatan yang dilakukan oleh wajib pajak dalam bidang perpajakan.
Kebijakan tersebut merupakan insentif yang hanya berlaku selama berlangsungnya periode amnesti pajak dan untuk selanjutnya akan diberlakukan penegakan hukum.
Dalam sidang pembacaan putusan tersebut, MK juga menyatakan tidak dapat menerima dua perkara yang diajukan beberapa pemohon perseorangan serta tiga organisasi buruh. (Ant/Maria Rosari)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto
Tag Terkait: