Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        SPKS Desak DPR Stop Pembahasan RUU Perkelapasawitan

        SPKS Desak DPR Stop Pembahasan RUU Perkelapasawitan Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diminta untuk tidak melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang RUU Perkelapasawitan untuk memastikan RUU tersebut?tak disahkan menjadi UU.

        Marselinus Andry selaku bagian hukum SPKS mengatakan DPR tidak perlu mengeluarkan UU Perkelapasawitan karena banyak hal yang soal kelapa sawit yang sudah diatur dalam undang-undang dan peraturan?kementerian. Ia mengatakan?DPR diharapkan kembali melakukan revisi terhadap UU Perkebunan untuk memperbaiki tata kelola perkebunan yang memiliki visi keberlanjutan terlebih pada komoditas sawit.

        "Perizinan dan syarat legalitas untuk setiap pelaku usaha perkebunan sebetulnya telah diatur melalui Permentan 98 Tahun 2014, Undang-Undang Perkebunan, serta di berbagai undang-undang sektor lainnya, sehingga tidak perlu DPR RI kembali mengeluarkan UU baru hanya untuk mengurusi terkait legalitas perizinan karena hal tersebut bisa melalui revisi dan upaya harmonisasi peraturan perundangan sektoral lainnya," katanya dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Minggu (29/1/2017).

        Andry mengatakan RUU Perkelapasawitan sangat kental dengan unsur politis. Ia mengatakan terdapat potensi RUU ini hanya untuk memudahkan perizinan bagi perusahaan yang bermasalah serta ada potensi untuk menutupi dan melanggengkan kejahatan-kejahatan yang dilakukan perusahaan atas perizinan lahan yang bermasalah, konflik lahan, maupun izin pabrik kelapa sawit yang bermasalah.

        Ia?mengungkapkan persoalan yang dihadapi petani salah satunya adalah terkait legalitas, terutama masih ada lahan petani yang berada dalam kawasan hutan. Akan tetapi, imbuhnya, kondisi ini merupakan dampak dari?ketimpangan penguasaan lahan serta dampak kemitraan yang tidak adil di perkebunan sawit.

        "Perusahaan kerap melakukan monopoli penguasaan lahan yang kerap kali menimbulkan konflik tanah maupun konflik dengan masyarakat adat serta berbagai konflik sosial lainnya," ujarnya.

        Dari data konflik 2016 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), lanjutnya, perkebunan masih tetap menjadi sektor penyebab tertinggi konflik agraria dengan angka 163 konflik di seluruh Indonesia.

        "Dengan luasan lahan yang terlibat konflik 601.680 hektar, lahan konflik tersebut sebagian besar di bawah penguasaan beberapa perusahaan besar. Kondisi yang demikianlah yang seharusnya dicarikan solusinya oleh pemerintah maupun DPR RI saat ini," sebutnya.

        Andry juga mengatakan bahwa dengan adanya komitmen dari Presiden RI saat ini untuk mengeluarkan kebijakan moratorium sawit merupakan suatu kesempatan yang diambil pemerintah untuk memperbaiki persoalan perizinan dan berbagai upaya penyelesaian atas konflik yang ada di perkebunan sawit.

        "Bagi petani, moratorium sawit ini merupakan jalan keluar untuk memperbaiki tata kelola perkebunan sawit serta bagaimana prinsip keberlanjutan dapat diimplementasikan ke depan sehingga petani maupun sektor swasta saatnya lebih fokus untuk meningkatkan produktivitas sawitnya dari lahan yang ada tanpa melakukan deforestasi melalui pembakaran lahan untuk pembukaan baru maupun perluasan," tegasnya.

        Disampaikan, masalah produktivitas masih menjadi permasalahan baik petani maupun perusahaan. Saat ini perkebunan rakyat hanya mencapai 12 ton/ha/tahun untuk angka produktivitas, sementara perusahaan hanya 18 ton/ha/tahun.

        Jika dihitung, capaian perusahaan maupun perkebunan rakyat tersebut belum mencapai target produktivitas yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian, yakni 36 ton/ha/tahun. Hal ini menjadi tantangan kelapa sawit Indonesia ke depan.

        Jika RUU Perkelapasawitan ini tetap dilanjutkan maka bukan hanya bertentangan tetapi suatu bentuk perlawanan terhadap komitmen kebijakan moratorium sawit dari pemerintah.

        "Dari substansinya saja, RUU Perkelapasawitan ini justru melanggengkan deforestasi untuk ekspansi sawit skala besar. Berbagai kemudahaan melalui fasilitasi, insentif, maupun perencanaan induk perkelapasawitan merupakan corong baru yang memaksa pemerintah untuk melegalkan rencana tersebut. Lebih jelas lagi bahwa RUU ini menjadi kekuatan baru bagi investor dan pengusaha untuk melawan berbagai kampanye negatif dari kalangan masyarakat sipil terkait kondisi yang sebenarnya terjadi di perkebunan sawit," pungkasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Cahyo Prayogo
        Editor: Cahyo Prayogo

        Bagikan Artikel: