LSM Aliansi Indonesia Damai (AIDA) mendesak agar revisi terhadap Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memuat payung hukum untuk pemberian kompensasi kepada korban aksi terorisme.
"Kami usulkan ke DPR dan pemerintah agar ada rumusan ulang tentang kompensasi. Karena di UU Nomor 15 Tahun 2003, kompensasi dilaksanakan bila ada vonis pengadilan dulu," kata Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi di Jakarta, Sabtu (8/4/2017).
Pihaknya mengusulkan agar pemberian kompensasi tidak ditentukan oleh putusan pengadilan, melainkan menggunakan penilaian dari lembaga negara yang ditunjuk sebagai penilai. Diakuinya, dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme telah memuat ketentuan hak korban. Kendati demikian, menurut dia, ketentuan UU tersebut tidak benar-benar dilaksanakan.
"UU ini tidak betul-betul diimplementasikan. Para korban tidak pernah dapat kompensasi yang merupakan hak yang diberikan negara kepada korban. Yang didapat korban cuma bantuan kerahiman," katanya.
Kemudian setelah disahkannya UU Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, ada sejumlah hak korban yang dipenuhi oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), yakni hak psikologis, hak psikososial, dan bantuan medis.
"Tapi kendalanya, LPSK meminta surat keterangan korban sehingga baru 40 orang korban yang mendapat layanan LPSK, padahal jumlah korban ada 300-an orang," katanya.
Untuk itu, AIDA mendorong perubahan ketentuan pemenuhan hak korban dalam revisi UU Pemberantasan Terorisme agar para korban bisa mendapatkan jaminan terpenuhinya hak mereka, terutama dalam penanganan medis agar dapat cepat dilakukan.
"Kami dorong UU ini bisa memberikan payung hukum bahwa negara menjamin seluruh kebutuhan medis korban pada masa kritis. Karena berdasarkan temuan di lapangan, banyak korban tidak langsung mendapat layanan medis. Banyak rumah sakit yang menolak para korban," katanya.
Hal itu menurut dia penting agar seluruh rumah sakit yang berada di dekat lokasi terjadinya tindak pidana terorisme, bisa langsung memberikan pelayanan medis kepada para korban. Selain itu, pihaknya juga mendesak adanya definisi yang jelas mengenai korban agar juga tercantum dalam UU Terorisme. "Tentang definisi korban, korban tindak pidana terorisme menurut kami adalah masyarakat sipil yang tidak ada hubungannya dengan terorisme lalu terdampak aksi teror," ujarnya. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Dewi Ispurwanti
Tag Terkait: