Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        CIPS: Tata Niaga Gula Nasional Perlu Dievaluasi

        CIPS: Tata Niaga Gula Nasional Perlu Dievaluasi Kredit Foto: Antara/Jojon
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Pemerintah?diminta?melakukan evaluasi tata niaga gula nasional. Sebab beberapa peraturan terkait supai gula nasional yang telah ditetapkan dinilai tidak mampu meningkatkan produktivitas gula nasional.

        Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hizkia Respatiadi mengatakan, dengan membuka keran impor untuk memenuhi shortage penawaran gula konsumsi dalam negeri, pemerintah justru menerapkan hambatan dalam beberapa hal untuk impor, seperti jumlah dan waktu impor.

        "Padahal pemerintah tidak mampu menentukan jumlah dan waktu yang tepat untuk melakukan impor gula konsumsi. Hal ini terbukti dari jumlah impor yang tidak mampu meredam gejolak harga, serta waktu pelaksanaan impor yang kurang maksimal, yaitu ketika harga internasional tidak berada pada titik terendah," jelas dia dalam keterangan tertulisnya kepada redaksi Warta Ekonomi, Jumat (31/8/2018).

        Untuk itu, CIPS menyarankan pemerintah mengevaluasi Permendag Nomor 117 Tahun 2015. Pada pasal 3 dijelaskan, jumlah gula yang diimpor harus sesuai dengan kebutuhan gula dalam negeri yang ditentukan dan disepakati dalam rapat koordinasi antarkementerian.

        "Peraturan ini perlu dievaluasi karena terbukti, mekanisme pembatasan kuota impor tidak mampu meredam gejolak harga di pasar gula konsumsi dalam negeri. Sudah seharusnya pemerintah memberikan hak penentuan jumlah impor kepada pasar melalui importir yang memiliki lisensi dan memenuhi syarat sebagai importir. Pemerintah cukup?mengawasi mekanisme impor agar berlangsung tertib dan efektif," katanya.

        Hizkia melanjutkan, selama ini lisensi impor hanya diberikan kepada sejumlah BUMN, sehingga tidak menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat.

        "BUMN pun sering mengalami kesulitan dalam mengimpor karena lisensi yang diterimanya berdekatan dengan masa giling tebu domestik, sehingga tidak ideal timing?untuk melakukan impor," urainya.

        Selain Permendag Nomor 117 Tahun 2015, kebijakan terkait supai lain yang dinilai tidak efektif adalah Permentan Nomor 53 Tahun 2015 yang mengatur mengenai peningkatan produktivitas tebu. Berdasarkan data United States Department of Agriculture (USDA), produktivitas tebu Indonesia sebelum diberlakukannya Permentan di atas adalah 74,3 ton per hektare (2008-2014). Setelah pemberlakuan, produktivitasnya justru menurun menjadi 67,55 ton per hektare (2015-2018).

        Selanjutnya,?Permenperin Nomor 50 Tahun 2012 yang mengatur mengenai revitalisasi pabrik dengan tujuan meningkatkan nilai rendemen gula tebu Indonesia. Pasalnya data dari USDA menunjukkan nilai rata-rata rendemen gula tebu nasional pada periode 2008-2018 hanya 7,47%. Nilai ini berbeda jauh bila dibandingkan dengan Filipina yang mencapai 9,52% dan Thailand 10,28% pada periode yang sama.

        "Hal ini menunjukkan kebijakan pemerintah terkait suplai gula tidak efektif. Menurut data OECD FAO, konsumsi per kapita gula rata-rata nasional terus meningkat, di mana pada 2009 hanya 21,26 kilogram per orang. Sedangkan pada 2016 nilai ini meningkat menjadi 25,35 per kilogram per orang per tahun. Ini juga membuktikan produksi gula nasional masih belum bisa memenuhi kebutuhan gula domestik," ungkap Hizkia.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Rosmayanti
        Editor: Rosmayanti

        Bagikan Artikel: