Pemerintah diminta berhati-hati dalam membangun energi baru khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) agar tidak menjadi masalah khususnya dengan lingkungan dan masyarakat.
"Pembangunan energi baru harus mempertimbangkan banyak aspek. Tidak hanya teknis, tetapi juga lainnya seperti sosial dan ekonomi masyarakat," ujar mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro di Medan, Selasa, dalam seminar Pengelolaan Sumber Daya Energi Yang Berkelanjutan untuk Ketahanan Nasional.
Ia mengatakan kehati-hatian dibutuhkan mengingat adanya wacana penggunaan bahan bakar nuklir untuk mengatasi masalah kelistrikan. Purnomo mengisahkan tentang studi kasus tentang rencana pembangunan PLTN di Gunung Muria yang mendapat penolakan kuat dari masyarakat yang menyebabkan rencana tersebut tidak dapat dieksekusi.
Pascagempa Fukushima, katanya, kehati-hatian dan studi komprehensif harus menjadi pijakan utama pemerintah untuk memutuskan langkah selanjutnya.
"Dulu Dirjen di ESDM dikejar-kejar sama masyarakat Muria dan ternyata di Gunung Muria sering terjadi gempa sehingga diputuskan pembangunan PLTN dibatalkan," ujarnya..
Purnomo menyebutkan energi nuklir di dunia saat ini juga menurun persentase pembangunannya. Dengan demikian, pembangunan PLTN di Indonesia jangan tergesa-gesa.
"Ingat, posisi nuklir dalam KEN (Kebijakan Energi Nasional) merupakan opsi terakhir," katanya.
Sekjen Dewan Energi Nasional, Saleh Abdurrahman menyebutkan, pemerintah pada tahun 2025 menargetkan akan menggunakan energi terbarukan (angin, air, dan tata surya) sebesar 25 persen.
Tahun 2025, Indonesia sudah menggunakan energi terbarukan sebesar 25 persen dari yang sekarang hanya 6 sampai 7 persen," katanya.
Saleh menyebutkan bahwa Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang banyak. "Potensi matahari dan angin belum dimanfaatkan sebesar-besarnya," katanya. Apalagi, katanya, tren harga energi terbarukan semakin menurun.
Saleh menegaskan khusus untuk.PLTN belum diwacanakan dalam waktu dekat karena selain bukan prioritas, faktor ekonomi juga menjadi bahan pertimbangan.
"Biaya pembangkit nuklir per kWh itu termasuk mahal. Apalagi ditambah biaya dari kemungkinan resiko kecelakaan," ujar Saleh.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: