Perusahaan pakan ternak (feedmill) diajak melakukan pinjam meminjam jagung dengan pemerintah guna memenuhi kebutuhan jagung pakan peternak ayam layer mandiri. Hal tersebut pun dipertanyakan oleh berbagai pihak.?
Namun, kenyataan yang terjadi di lapangan, peternak merasa sangat terbantu dengan upaya jangka pendek pemerintah ini. Peternak ayam petelur melihat kesungguhan Direktorat Jenderal (Ditjen) Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Kementerian Pertanian (Kementan) dalam mengupayakan jagung pakan.
"Terus terang saya memuji, khususnya ke Ditjen PKH, Pak Dirjen Ketut dan jajarannya. Betul-betul luar biasa untuk peternak dalam mengadakan jagung," ujar Awan Sastrawijaya, peternak ayam petelur di Bandung, Jawa Barat.
Padahal, menurut Awan yang juga Pengurus Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Petelur Nasional (PPN), secara tugas pokok dan fungsi, itu bukan tugas mereka (Ditjend PKH), tapi mereka turun mencari jagung, bahkan mencari pinjaman.
Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak Kementan, Sugiono menjelaskan, langkah meminjam jagung pakan dari feedmill diambil sambil menunggu impor jagung sebesar 100 ribu ton di Indonesia. Apabila jagung impor sudah tiba, Kementan akan mengembalikan pinjaman.
"Jagung pinjaman ini tidak disalurkan ke seluruh lapisan peternak. Hanya untuk peternak kecil dan mandiri," ujar Sugiono.
Pemerintah mengambil keputusan ini sebagai upaya penyelamatan peternak ayam mandiri, serta menjaga stabilitas harga ayam dan telur.
Sebagaimana disampaikan Ketua Presidium Forum Peternak Layer Nasional, Ki Musbar Mesdi, apabila tidak segera diantisipasi, kenaikan harga jagung bisa berdampak pada harga telur di pasaran pada bulan depan.
"Sebab, biaya jagung berkontribusi 50% dari total biaya produksi pakan," kata Ki Musbar.
Ia juga berharap agar jagung impor sebaiknya datang paling telat akhir tahun. "Apabila tiba di Indonesia pada awal 2019, bisa tidak dapat terserap oleh peternak mandiri karena bersamaan dengan panen raya, di mana harga jagung di petani lebih murah," ucapnya khawatir.
Sementara itu, soal keputusan pemerintah yang akhirnya mengeluarkan izin impor jagung, Dekan Fakultas Pertanian IPB, Suwardi memiliki pandangan berbeda. Menurutnya, dari segi jumlah produksi untuk memenuhi kebutuhan jagung dalam negeri, produksi domestik mungkin saja sudah mencukupi. Tetapi, jumlah saja tidak cukup karena masih ada faktor lain.
"Yang mungkin saja itu belum bisa dipasok dari produksi jagung setiap saat sesuai jadwal untuk keperluan industri," jelas Suwardi.
Faktor seperti itu, menurut Suwardi, merupakan kategori kebutuhan khusus, sehingga mungkin diperlukan kebijakan impor jagung. Apalagi, kata Suwardi, ditambah dengan kendala distribusi yang memerlukan waktu, harga produksi akan lebih mahal dari impor.
"Jadi, impor untuk tujuan tertentu kadang-kadang diperlukan agar industri bisa terlaksana baik," imbuh Suwardi.
Stok Jagung dalam negeri mulai kembali melimpah karena saat ini di beberapa daerah mulai ada panen jagung yang dilakukan oleh beberapa petani.
Akhir pekan lalu, Kementan melakukan safari untuk menyaksikan panen jagung secara serentak di?tujuh kabupaten di Jawa Timur (Tuban, Lamongan, Lumajang, Jember, Kediri, Mojokerto, dan Pasuruan) di areal 5.000 hektare ladang jagung.
"Panen (jagung) ini menunjukan bahwa stok jagung melimpah dan kita memang surplus," ujar Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, Agung Hendriadi.
Peternak mengaku tidak menutupi kenyataan?adanya panen yang lokasinya sporadis. Untuk itu, hal ini hendaknya ke depan menjadi perhatian pemerintah.
"Untuk memastikan kestabilan pasokan, lihat supply-nya ada di mana, kemudian demand-nya ada di mana. Nah, ini yang ke depan harus dipikirkan juga. Bisa diimbangi," usul Awan Sastrawijaya.
Cara paling mudah dan bisa dilakukan dalam waktu dekat, menurut Agung, adalah distribusi. Pemerintah bisa menugaskan Bulog atau pun BKP dalam mendistribusikan jagung ke daerah pelosok.
"Tahun depan, ide ini akan diajukan karena saat ini masih dalam tahap perundingan," tambah Agung.
Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) diakuinya tidak diperlukan karena anggaran yang digunakan merupakan milik Kementan. Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) pun tidak diperlukan karena anggaran distribusi ini merupakan hal darurat.
"Hanya saat emergency saja. Kalau enggak ada masalah, ya, enggak usah dikeluarin uang," kata dia.
Cara ini telah diterapkan di Maluku Utara. Di sana, ia melanjutkan, seluruh produksi kurang, namun disediakan anggaran APBD untuk mendistribusikan bahan makanan dari sentra produksi ke wilayahnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: