Laporan DBS Group Research menyebutkan bahwa pasar mata uang asing dunia saat ini terperangkap di antara dolar AS, yang terbebani harapan pemangkasan suku bunga Bank Sentral AS dan risiko depresiasi lanjutan yuan China, yang dipicu oleh tarif. Pada akhirnya, depresiasi yuan lebih penting daripada penurunan suku bunga Bank Sentral AS.
Bank Sentral AS mengklaim ekonomi AS sehat, namun tidak kebal terhadap risiko global, seperti peningkatan ketegangan dagang dan kegagalan mencapai kesepakatan terkait Brexit, yang membahayakan zona Eropa yang rapuh.
Sebagaimana diketahui Presiden AS Donald Trump mengancam mengenakan tarif pada sisa barang China senilai US$325 miliar jika Presiden China Xi Jinping tidak menemuinya di KTT G20 pada 28 Juni 2019. China pun membuka kemungkinan depresiasi yuan lebih dari 7 yuan terhadap dolar AS jika itu terjadi.
Baca Juga: Mulai Ciut, Balas Dendam Rupiah ke Dolar AS Tak Bertahan Lama?
Pemimpin Tory berikutnya, yang akan menggantikan Theresa May sebagai Perdana Menteri Inggris, kemungkinan menuntaskan Brexit dengan atau tanpa kesepakatan. Jika Brussels tidak menyetujui permintaan menunda lagi tanggal Brexit, secara hukum, Inggris tetap akan keluar dari zona Eropa tanpa kesepakatan pada 31 Oktober.
"Kami meramalkan penurunan suku bunga AS sebanyak dua kali pada September dan Desember untuk berjaga-jaga terhadap kemungkinan pelemahan mata uang, yang dipimpin depresiasi yuan dan euro," tulis FX Strategist, Philip Wee dan Rates Strategist, Eugene Leow dalam rilis Bank DBS Indonesia, Rabu (12/6/2019).
Keduanya menlanjutkan, "Dengan keyakinan seluruh dunia mungkin melemah lebih dulu dan lebih parah daripada AS, dan dengan dua pemangkasan suku bunga Bank Sentral AS, yang diperhitungkan pasar, tidak akan mudah bagi pedagang atau spekulan dolar AS, yang pesimistis, membuat dolar AS jatuh tanpa perlawanan."
Kehati-hatian di pasar mata uang asing Asia
Ruang mata uang asing Asia jauh lebih berhati-hati terkait pelonggaran kebijakan moneter daripada ruang mata uang dolar AS. Dengan kebuntuan dalam pembicaraan dagang China-AS, ada kemungkinan lebih besar Bank Sentral AS menurunkan suku bunganya beberapa kali.
"Nilai tukar dolar AS memperhitungkan hampir empat kali pemotongan dalam dua tahun ke depan, yang sejauh ini merupakan yang paling agresif di perekonomian, yang kami lacak. Secara komparatif, kurva EUR dan JPY hanya menunjukkan penurunan moderat tarif tersirat, tetapi itu mungkin karena fakta tingkat kebijakan sudah negatif. Oleh karena itu, kelonggaran untuk memangkas suku bunga lebih terbatas jika dibandingkan dengan di AS meskipun data di zona Eropa dan Jepang kurang mendukung," jelas Philip Wee dan Eugene Leow.
Baca Juga: Awas! Dolar AS Sapu Bersih Mata Uang Asia!
Nilai tukar tersirat di seantero Asia harus jauh lebih rendah selama periode sama, namun kenyataannya tidak demikian. Yang pasti, menurut mereka, pasar mengindikasikan nilai tukar tersirat lebih rendah seperti di Singapura, Hongkong, dan Korea Selatan, tetapi makna perubahan jauh lebih kecil daripada AS.
Untuk wilayah lain di Asia, beberapa pelonggaran diperhitungkan terjadi dalam tahun ini, tetapi sebagian besar akan diimbangi dengan pengetatan kebijakan pada tahun berikut. Beberapa alasan bisa menjelaskan mengapa nilai tukar di Asia enggan turun. Pertama, pelaku pasar (dan pembuat kebijakan) mungkin tidak sepakat dengan tingkat nilai tukar dolar AS dan mungkin ingin menunggu Bank Sentral AS menurunkan suku bunganya sebelum mengambil tindakan.
"Kedua, nilai tukar forward lebih tinggi daripada nilai tukar spot di Asia mungkin disebabkan oleh kekhawatiran akan kekuatan dolar AS. Jika sentimen memburuk dan dolar AS menguat, ruang bagi Bank Sentral Asia untuk melonggarkan kebijakan juga akan dibatasi," tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: