Pasar saham Indonesia kembali berpeluang menguat di semester dua tahun ini setelah usai dari hiruk pikuk politik dan para pelaku pasar mendapat kepastian presiden terpilih Joko Widodo kembali memimpin Indonesia untuk kedua kali.
Menurut Kepala Ekonom dan Makro Ekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment, Budi Hikmat, ada beberapa faktor di semester dua yang bisa mendongkrak kenaikan pasar saham.
Pertama, sentimen positif dari Bank Sentral Amerika Federal Reserve (The Fed) yang memberi sinyal kuat untuk menurunkan suku bunga pada akhir Juli ini. Dari segi valuasi, bursa saham Indonesia masih lebih murah dibandingkan bursa saham beberapa negara di Asia, sehingga memikat investor asing untuk kembali berinvestasi di Indonesia.
Baca Juga: Petinggi Beberkan Aib, Saham Krakatau Steel Meleleh
Di samping itu, Bank Indonesia telah menurunkan suku bunga BI 7-Days Reverse Repo sebesar 25 basis poin menjadi 5,75 persen pada bulan ini. Sehingga suku bunga deposito cenderung turun, diantisipasi dengan bunga obligasi.
Sementara faktor earnings atau pendapatan perusahaan masih belum memberi hasil maksimal karena daya beli masyarakat belum membaik. Budi memperkirakan earnings korporasi pada tahun ini akan berkisar antara 8-10%.
Adapun sektor-sektor yang menarik untuk dicermati dengan kondisi membaiknya pasar saham adalah sektor perbankan, konsumen, dan properti. Sementara, sektor yang harus diwaspadai adalah sektor komoditas, baik itu batu bara, minyak sawit (CPO) sebagai dampak dari pelambatan ekonomi yang terjadi di China.
Penguatan Rupiah Belum secara Fundamental
Di samping prospek IHSG yang diprediksi menarik tahun ini, rupiah telah mencerminkan penguatan pada pekan lalu. Rupiah kembali menguat terhadap kurs dolar Amerika Serikat (AS), yang naik 0,49% ke level Rp 13.930 selama pekan lalu. Rupiah menjadi mata uang terbaik di Asia sepanjang Juli, di mana menguat 1% terhadap dolar AS.
Akan tetapi, Budi Hikmat mengingatkan jika penguatan rupiah belum ditopang secara fundamental. Penguatan rupiah disebabkan karena masuknya aliran modal asing (capital inflow) ke pasar keuangan Indonesia, sebesar Rp192,5 triliun, dimana Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp118,1 triliun dan saham senilai Rp74 triliun. Kepemilikan investor asing terhadap SBN telah melebihi Rp1.000 triliun.
Sementara Indonesia masih mengalami defisit neraca dagang. Sepanjang semester satu 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca dagang defisit US$1,93 miliar. Pada Juni terjadi surplus US$200 juta. Meski demikian, defisit neraca dagang semester I tahun ini merupakan defisit neraca terdalam selama empat tahun terakhir.
Baca Juga: Investor Hengkang dari Saham Bank Mandiri, Trauma Ya?
"Tantangan terbesar kita saat ini adalah penyembuhan defisit neraca berjalan (current account deficit/CAD). Kebijakan moneter dan fiskal saja tak cukup memperbaiki CAD. Hal yang kita tunggu saat ini adalah kabinet pemerintah yang baru untuk memberi solusi dalam memacu produktivitas dan daya saing," ungkap Budi Hikmat dalam siaran pers, Selasa (23/7/2019).
Salah satu penyebab membengkaknya CAD, lanjut Budi, adalah penyakit Belanda atau dutch disease, yakni masyarakat terlena menggunakan produk barang atau jasa impor, namun tak menggerakan roda produktivitas.
"Semasa era commodity booming, sektor manufaktur kurang dapat dukungan, sementara belanja masyarakat untuk barang impor tumbuh pesat. Ketika booming berakhir, belanja barang impor sulit ditekan, sementara manufaktur sulit menyerap tenaga kerja yang menghasilkan pendapatan untuk rumah tangga," ungkap Budi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: