Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Mengurai Kusutnya Industri Tekstil Indonesia

        Mengurai Kusutnya Industri Tekstil Indonesia Kredit Foto: Shutterstock
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Industri tekstil dan produksi tekstil (TPT) Tanah Air kini tengah dirundung duka. PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT) -anak usaha Duniatex, salah satu grup usaha tekstil terbesar di Indonesia- dilaporkan mengalami gagal bayar atas kewajiban pembayaran kupon obligasi. Hal tersebut membuat S&P menurunkan rating DMDT menjadi CCC- atau setara dengan junk bond (obligasi sampah).

        Kejadian itu tak ayal membuat banyak orang bertanya-tanya, sebenarnya apa yang sedang terjadi dengan industri TPT di Tanah Air?

        Sekretaris Jenderal Asosiasi Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta ketika ditemui Warta Ekonomi di Jakarta, belum lama ini, buka-bukaan terkait kondisi terkini industri TPT di Indonesia.

        Redma bercerita jika hantaman kepada Industri TPT berawal pada tahun 2007 dan 2008 silam. Kala itu, industri tekstil China memutuskan untuk melakukan ekspansi besar-besaran. Perkembangan industri tekstil negeri Tirai Bambu tersebut ternyata menjadi pukulan keras bagi para pemain tekstil lokal, terlebih industri kain. Sejak saat itu, tepatnya tahun 2009 kain impor asal China secara perlahan-lahan membanjiri pasar Indonesia.

        Hantaman masuknya tekstil China terus meningkat dari hari ke hari, bulan ke bulan, hingga tahun ke tahun. Berdasarkan data APSyFI yang diolah dari BPS, rata-rata pertumbuhan impor TPT nasional dalam 10 tahun terakhir meroket hingga 10,4% mencapai US$10,02 miliar pada 2018.

        Padahal, pertumbuhan rata-rata ekspor dalam periode yang sama hanya tumbuh tipis 3% menjadi US$13,22 miliar. Alhasil, neraca perdagangan TPT Indonesia ikut menyusut hingga setengahnya, dari tadinya surplus US$6,08 miliar pada tahun 2008 menjadi hanya US$3,2 miliar tahun lalu.

        "Nah ini yang bikin industri tekstil kita tidak sehat sejak tahun 2007-2008 sampai sekarang, kecuali di garmen karena dia masih bisa ekspor pakai kain impor," ucapnya.

        Data APSyFI juga menjelaskan bahwa kinerja perdagangan TPT pada 2018 menjadi yang terburuk sepanjang sejarah karena ekspor hanya tumbuh 0,9%, sedangkan impor tumbuh sampai 13,9% sehingga neraca perdagangan TPT defisit 25,6%.

        Menurut Redma, kondisi tersebut tercipta karena adanya Permendag Nomor 64 Tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Tekstil dan Produk Tekstil. Dalam kebijakan ini, pemerintah memberikan lampu hijau kepada pedagang (API-U) untuk melakukan impor bahan baku tekstil melalui Pusat Logistik Berikat (PLB).

        Kondisi ini menyebabkan produk dari industri hulu, khususnya di sektor pembuatan kain kalah bersaing dengan kain impor dan kurang terserap oleh industri garmen di hilir. Redma menyebut bahwa saat ini utilisasi produksi di sektor pertenunan, perajutan, dan pencelupan kain hanya berada di kisaran 40%.

        APSyFI pun meyakini, jika kondisi ini terus berlanjut maka dalam waktu tiga tahun ke depan TPT akan mengalami ancaman defisit neraca perdagangan. APSyFI memperkirakan semester I-2019 impor naik sekitar 7% year on year (yoy) atau senilai US$4,4 miliar, sedangkan neraca perdagangan diprediksi tertekan menjadi US$2 miliar.

        Batasi Impor atau Banjiri Insentif

        Untuk memperbaiki iklim usaha industri TPT, Redma menilai pemerintah bisa melakukan beberapa upaya seperti memberikan insentif yang membuat perusahaan TPT domestik bisa bersaing dengan perusahaan asing atau langkah lain memberlakukan pembatasan atas barang impor.

        Insentif yang semestinya dikeluarkan pemerintah untuk menyelamatkan industri TPT bisa dilakukan dengan memberikan insentif tarif gas, kemudahan distribusi, dan kualitas sumber daya manusia. Dia berharap tarif gas dapat diturunkan ke harga US$6 per MMBTU dari kisaran harga saat ini US$9 per MMBTU demi mendorong daya saing pasar tekstil dan produk TPT.

        Selain itu, pemerintah bisa mengambil langkah tegas untuk membatasi impor bahan baku. Jika pemerintah bisa membatasi bahan impor masuk maka permintaan di dalam negeri akan beralih ke perusahaan-perusahaan TPT lokal.

        Redma mengusulkan kepada pemerintah untuk memperketat impor sejumlah produk yang bisa diproduksi oleh produsen dalam negeri, utamanya untuk produk HS 52 Kain Tenunan dari Kapas, HS 54 Kain Tenunan dari Benang Filamen Sintetik, HS 55 Kain Tenunan dari Serat Stapel Sintetik/Viscose Rayon sampai HS 62 Pakaian dan Aksesoris Pakaian Tidak Dirajut.

        Karena produk produk tersebut sudah bisa diproduksi dalam negeri, maka impor sebaiknya hanya dilakukan oleh API-P yang mendapat P-tekstil dengan syarat dipergunakan untuk bahan baku sendiri, tidak diperjualbelikan.

        "Jadi, tidak perlu kita impor serat seperti viscose karena sudah bisa dipenuhi dari dalam negeri," tegasnya.

        Saat ini, lanjut Redma, tingkat utilisasi perusahaan TPT hanya 65%. Parahnya lagi, utilisasi pabrik pembuatan kain hanya 45% atau turun jauh dari 2017 yang masih sebesar 55%.

        "Pasar domestik kalau bisa diatur bisa menekan impor, balance-nya bisa positif lagi," imbuhnya.

        Ia pun meyakini andaikan keran impor tekstil diperketat, kebutuhan 260 juta jiwa warga negara Indonesia akan dapat dipenuhi oleh para perusahaan TPT yang ada salah satunya, Asia Pacific Rayon (APR). Perusahaan yang berada dalam grup perusahaan Royal Golden Eagle (RGE) ini memproduksi viscose rayon dan mudah terurai (biodegradable) yang digunakan untuk produk tekstil. Perusahaan pun telah berinvestasi Rp11 triliun untuk membangun pabrik dengan kapasitas 240 ribu ton viscose-rayon per tahun.

        "Dua tahun lalu, produksi viscose masih defisit, dulu kita impor 150 ribu ton. Padahal demand 300 ribu ton. Kehadiran APR pun membuat kebutuhan demand lokal terpenuhi, jadi sudah balance," tutur Redma.

        Asia Pacific Rayon (APR) yang merupakan produsen serat viscose-rayon terintegrasi pertama di Indonesia, berkomitmen untuk mendukung pengembangan serta daya saing industri tekstil dan fesyen dalam negeri di kancah internasional.

        Beberapa waktu lalu, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto juga mengutarakan, hadirnya APR sebagai produsen serat viscose-rayon memberikan dampak yang sangat positif dalam mengurangi ketergantungan impor bahan baku mentah saat ini sekaligus memperkaya industri tekstil Indonesia.

        "Kami mengapresiasi investasi dan komitmen APR yang telah mendukung agenda pemerintah terhadap industri strategis nasional yakni sektor TPT agar bisa lebih berkompetisi di pasar global," ujar Airlangga.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Annisa Nurfitri
        Editor: Cahyo Prayogo

        Bagikan Artikel: