Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Jelang Putusan MA, Muslim India Cemas

        Jelang Putusan MA, Muslim India Cemas Kredit Foto: Sindonews
        Warta Ekonomi, Ayodhya -

        Komunitas minoritas Muslim di kota Ayodhya, India, cemas ketika mereka menanti putusan Mahkamah Agung (MA) mengenai status situs reruntuhan masjid abad 16. Situs kuno itu jadi sengketa setelah komunitas mayoritas Hindu menuntut pemerintah membangun kuil. Di situs kuno tersebut pernah berdiri Masjid Babri. Namun, dihancurkan oleh kelompok Hindu garis keras pada tahun 1992 dalam kerusuhan yang menewaskan hampir 2.000 orang, yang sebagian besar korbannya adalah Muslim.

        Bulan lalu, Ketua MA India, Ranjan Gogoi merampungkan sidang sengketa. Hasil putusan diperkirakan akan keluar dalam beberapa minggu ke depan. Putusan tersebut kemungkinan akan berdampak signifikan pada hubungan antara komunitas Hindu India dan Muslim di negara tersebut. Populasi Muslim di India mencapai 14 persen dari total penduduk sekitar 1,3 miliar.

        Sebagian besar pemimpin Muslim menginginkan masjid yang dihancurkan di masa silam dibangun kembali. Sebaliknya, komunitas Hindu menyatakan ada bukti ada sebuah kuil di situs itu sebelum masjid dibangun pada 1528 oleh komandan Babur, pendiri dinasti Mughal. Pembangunan "kuil agung" di Ayodhya telah lama menjadi janji pemilu dari Partai Bharatiya Janata (BJP), sebuah partai nasionalis Hindu yang saat ini menjadi partai berkuasa. Partai ini telah memenangkan Perdana Menteri Narendra Modi untuk berkuasa pada periode kedua.

        Baca Juga: Demi Beramal, Azim Premji Rela Terjungkal dari Posisi Kedua Orang Terkaya India

        Mohammed Shahid, 48, cucu imam terakhir masjid, memilih memindahkan keluarganya menjelang putusan MA. Dia khawatir ketegangan akan pecah setelah putusan tersebut. Dia punya alasan untuk takut. Ayahnya, Mohammed Shabir, dibunuh oleh kelompok garis keras Hindu yang mengamuk di Ayodhya sebelum massa menghancurkan masjid pada 6 Desember 1992.

        "Pada 1992, kami memutuskan untuk tetap tinggal, sebuah keputusan yang kami sesali," kata Shahid, yang duduk di halaman rumahnya yang kumuh dan berlantai dua, sebagaimana dikutip Reuters, Senin (4/11/2019). "Selain membunuh ayah saya, mereka membakar rumah kami dan penggergajian kayu, satu-satunya sumber penghasilan kami," ujarnya.

        Shahid mengatakan dia senang bahwa kakeknya, yang meninggal pada tahun 1990, tidak melihat kehancuran masjid kuno tersebut. Tidak seperti Shahid, Haji Mahboob Ahmad, seorang pemimpin komunitas Muslim berusia 66 tahun yang tinggal di dekat situs itu, tidak berencana untuk pergi. Tapi, dia juga merasakan kecemasan Shahid.

        "Kami sadar akan fakta bahwa beberapa elemen buruk dapat mencoba untuk menimbulkan masalah dengan mengambil keuntungan dari situasi dan itulah sebabnya saya telah meminta pihak berwenang untuk memastikan keselamatan umat Muslim Ayodhya," kata Ahmad. Ahmad mengatakan para pendiri India menetapkan negara tersebut sebagai negara demokrasi sekuler, dan harus tetap seperti itu.

        Hajari Lal, 57, salah satu bagian dari kelompok garis keras Hindu yang terlibat dalam penghancuran masjid kala itu lolos dari kematian. Lal menghancurkan masjid dengan sekop, palu, dan tangan kosong, merobohkan kubahnya sebelum seluruh bangunan runtuh. Bangunan masjid itu menimpa Lal yang membuatnya terjebak dalam reruntuhan. Dia menderita patah tulang.

        "Sejak hari yang menentukan pada tahun 1992, satu-satunya tujuan hidup saya adalah untuk melihat kuil permanen di situs. Saya bisa mati dengan tenang jika saya bisa melihat kuil itu," kata Lal. Bagi umat Hindu, kata Lal, situs di Ayodhya sama sakralnya dengan Makkah bagi umat Islam. Itu karena Lal dan jutaan umat Hindu lainnya percaya bahwa masjid itu dibangun di tempat kelahiran Dewa Ram, salah satu dewa paling dihormati umat Hindu.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Shelma Rachmahyanti
        Editor: Shelma Rachmahyanti

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: