Penyidik Direktorat Jenderal Pajak c.q. Kanwil DJP Jawa Barat I melaksanakan penyerahan tahap dua yaitu tersangka dan barang bukti terkait proses penyidikan tindak pidana? perpajakan.
"Akibat perbuatan tersangka tersebut menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dari sektor perpajakan sekurang-kurangnya yaitu sebesar jumlah faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya dijual atau diedarkan kepada perusahaan-perusahaan pengguna, yaitu sekurang-kurangnya sebesar Rp98 miliar," kata Kabid Pemeriksaan, Penagihan, Intelijen dan Penyidikan Kanwil DJP Jawa Barat I, Rustana Muhamad Mulud Asroem kepada wartawan di Bandung, Senin (17/11/2019)
Empat tersangka tersebut atas nama AAP alias A, (2) AS alias DAS, (3) AP dan (4) R, di mana berkas perkara atas keempat tersangka tersebut telah dinyatakan lengkap (P-21) oleh Jaksa Penuntut Umum, Senin tanggal 18 November 2019.
Baca Juga: Soal Pajak Kekayaan, Para Miliarder AS Ngaku Gerah
Baca Juga: Jabar Bakal Hapus Denda Pajak Kendaraan Bermotor
Rustana menjelaskan tersangka AAP alias A, bersama-sama dengan Sdr. AS alias DAS, AP dan R, diduga telah melakukan tindak pidana di bidang perpajakan yaitu dengan sengaja menerbitkan, mengedarkan dan menjual faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya.?
"Secara berturut-turut sebagai perbuatan yang diteruskan setidak-tidaknya pada kurun waktu masa pajak September 2018-Juli 2019 atau setidak-tidaknya pada kurun waktu lain dalam tahun 2018-2019," jelasnya.
Adapun, Wadireskrimsus Polda Jabar AKBP Haribrata mengungkapkan barang bukti yang telah disita terkait perkara pidana ini di antaranya adalah satu unit laptop serta satu buah modem yang digunakan untuk mengupload e-faktur atau faktur pajak yang diterbitkan tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya.
Sedangkan, modus operandi yang dilakukan tersangka berawal pada suatu waktu sekitar bulan Juli, Agustus dan Desember 2018 tersangka AS alias DAS mendirikan PT LSE, PT SPJ dan PT PIK dalam rangka menerbitkan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya (FP TBTS).
Dia menyebutkan, kegiatan usaha PT LSE, PT SPJ dan PT PIK adalah niaga bahan bakar minyak (BBM), namun dalam kenyataannya perusahaan tersebut tidak memiliki izin untuk melakukan niaga bahan bakar minyak (BBM) dari instansi yang berwenang, tidak memiliki gudang tangki penampung bahan bakar minyak (BBM) dan tidak pernah melakukan pembelian stok BBM solar untuk dijualbelikan.
"Dalam rangka membuat atau mengupload faktur pajak TBTS tersebut, tersangka AS alias DAS dibantu oleh tersangka AAP alias A yang berperan sebagai operator peng-upload faktur pajak (TBTS) berbentuk elektronik," ujarnya.?
Selain itu, tersangka AS alias DAS dan tersangka AAP alias A kemudian menerbitkan faktur pajak PT LSE, PT SPJ dan PT PIK yang digunakan sebagai pasokan pajak masukan kepada perusahaan penerbit faktur pajak TBTS di antaranya kepada, PT KCE milik tersangka AP, PT GPI milik Sdr. SM (tersangka dalam berkas perkara yang terpisah yang ditangani Direktorat Penegakan Hukum) dan kepada PT BBM milik Sdr. S alias E (tersangka dalam berkas perkara yang terpisah yang ditangani Direktorat Penegakan Hukum) dengan bantuan tersangka R.
Faktur Pajak a.n. PT LSE, PT SPJ dan PT PIK tersebut oleh tersangka AS alias DAS dan tersangka AAP alias A jual kepada sesama penerbit faktur seharga antara 0,5%-1% (satu persen) dari nilai PPN yang tercantum dalam faktur pajak.?
Selain memasok faktur pajak masukan (TBTS) kepada sesama penerbit faktur pajak TBTS, tersangka AS alias DAS dan tersangka AAP alias A juga menerbitkan faktur pajak a.n. PT LSE, PT SPJ dan PT PIK kepada para PKP Pengguna FP TBTS seharga antara 5% (lima persen) s.d. 8% (delapan persen) dari nilai PPN yang tercantum dalam faktur pajak.
Haribrata menambahkan perbuatan AAP alias A, AS alias DAS, AP dan R tersebut diatur dan diancam pidana dalam Pasal 39A huruf a jo. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2009 jo. 64 KUHP untuk tahun pajak 2018 s.d Tahun 2019
"Ancaman pidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama enam tahun serta denda paling sedikit dua kali dan paling banyak enam kali jumlah pajak dalam faktur pajak," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Saepulloh
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait: