Bareng SMI, WE Academy Kupas Pencegahan Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme
Penyedia jasa keuangan, seperti lembaga keuangan ataupun lembaga pembiayaan dinilai amat rentan terhadap tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan tindak pidana pendanaan terorisme (TPPT). Menurut Bank Indonesia, lembaga keuangan seperti perbankan menyediakan banyak pilihan transaksi bagi pelaku pencucian uang dan pendanaan terorisme dalam melancarkan tindakan kejahatannya.
Melalui pilihan transaksi, seperti pengiriman uang, lembaga keuangan menjadi pintu masuk harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana atau pendanaan kegiatan terorisme ke dalam sistem keuangan yang selanjutnya dimanfaatkan untuk kepentingan pelaku kejahatan.
Tak hanya perbankan, perusahaan yang bergerak di sektor pembiayaan juga kerap menjadi sasaran para pelaku tindak pidana, khususnya pencucian uang.
PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) yang berada dibawah naungan Kementerian Keuangan ini kerap diberikan penugasan menjadi katalis dalam percepatan pembangunan infrastruktur di negeri ini.
Baca Juga: WE Academy: Bagaimana Menjadi Protokoler dan Humas yang Baik?
Namun di tengah komitmen untuk membangun negeri, BUMN yang bergerak di bidang pembiayaan infrastruktur ini juga menghadapi berbagai risiko, seperti tindak pidana pencucian uang ataupun tindak pidana pembiayaan terorisme. Contohnya, fasilitas pembiayaan yang diajukannya untuk membangun proyek kerap disalahgunakan oleh oknum atau pejabat tertentu.
Berangkat dari hal tersebut, PT SMI bersama Warta Ekonomi Academy (WE Academy) menggelar pelatihan bertema Anti-Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme, Selasa (21/11/2019).
Bertempat di kantor SMI Jakarta, para peserta yang terdiri dari frontliner dan staf divisi hukum diajak untuk memahami parameter atau red flag TPPU, memetakan risiko pihak pelapor berisiko TPPU di Indonesia, dan juga studi kasus.
Workshop?ini sejalan dengan upaya PT SMI agar perseroan terhindar menjadi sarana pencucian uang dan pendanaan terorisme. Juga merupakan komitmen PT SMI dalam memberantas korupsi atau kejahatan keuangan dan melindungi perusahaan dari berbagai risiko, baik risiko reputasi, operasional, dan hukum.
"Pelatihan seperti ini selain wajib dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), juga menjadi?refreshing?bagi karyawan lama, tapi juga pengayaan bagi karyawan baru untuk lebih memahami dan mempelajari pelaksanaan tugas sehari-hari saat penerimaan calon nasabah," jelas Indarti, Staf Hukum Korporasi dan Kepatuhan PT SMI.
"Secara korporasi kami berkomitmen selalu menjaga?good corporate governance sehingga sebagai penyedia jasa keuangan di mata OJK dan PPATK, kami adalah penyedia jasa yang selalu tunduk pada aturan," sebutnya.
Di tempat terpisah, praktisi anti-pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme, Dimas Ken menjelaskan, TPPU dan TPPT secara umum merupakan sebuah perbuatan yang menyembunyikan atau menyamarkan uang atau aset yang berasal dari tindak pidana sehingga seolah-olah berasal dari sumber yang sah.
"Tujuan si pelaku kejahatan TPPU dan TPPT ini bisa dengan mudah menggunakan hasil secara aman, termasuk mengembangbiakan unsur kejahatan. Biasanya sebelum ada TPPU, ada tindak pidana asal terlebih dahulu terjadi. Seperti korupsi,?fraud?perbankan, pembalakan hutan, menyembunyikan pajak, atau tindak pidana apa pun," jelas Dimas kepada Warta Ekonomi.
Dia kembali melanjutkan, TPPU sebenarnya dapat dipantau, hal tersebut tertulis dalam Undang-Undang nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Di mana pihak pelapor bisa terdiri dari penyedia jasa keuangan, jasa profesi, serta penyedia barang dan jasa.
Mereka sebagai pihak pelapor dalam rezim anti-pencucian uang (termasuk kategori perbankan dan lembaga keuangan non-bank) dapat melaporkan beberapa hal, seperti laporan transaksi keuangan mencurigakan, laporan yang terindikasi menggunakan hasil kejahatan, dan transaksi yang diminta PPATK.
"Terkait money laundry, unsur-unsur tersebut mereka wajib melakukan deteksi awal terkait dengan transaksi keuangan yang mencurigakan," papar Dimas.
Tambahnya, "Untuk itu, mereka harus punya parameter atau red flag batas kewajaran sehingga mampu mengetahui transaksi yang melampaui batas kewajaran, dan di situ akan dilakukan pendalaman dari bank. Di situlah bank dituntut untuk mengenali dan mengidentifikasi nasabahnya atau biasa disebut dengan istilah customer due diligence."
Baca Juga:?Membedah Tiga Pilar Strategis untuk Corporate Secretary Bersama WE Academy
Dimas berharap lembaga keuangan bisa mendeteksi secara awal apabila terjadi indikasi tindak pidana pencucian uang dengan memanfaatkan berbagai produk dari pihak pelapor, terutama terkait dengan pembiayaan proyek. Oleh sebab itu, lembaga keuangan harus lebih waspada terkait dengan proyek-proyek yang terindikasi dengan fraud. Contohnya korupsi dan sebagainya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Bambang Ismoyo
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: