Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Sampai Mana Obat Kanker di Indonesia Efeknya Baik buat Pasien?

        Sampai Mana Obat Kanker di Indonesia Efeknya Baik buat Pasien? Kredit Foto: Unsplash/Joshua Coleman
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Selain kemoterapi, pasien kanker harus mengonsumsi obat-obatan. Namun pengawasan obat tetap di bawah wewenang Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), sebelum ada di tangan dokter.

        Mengingat kanker merupakan penyakit penyebab kematian nomor satu di Indonesia. Oleh karena itu, dibutuhkan penanganan yang tepat untuk menanggulangi penyakit ini, termasuk memilih obat yang aman untuk dikonsumsi dan terbukti berkhasiat.

        Baca Juga: Ahli Bilang Indonesia Kini Lagi Menabung Kanker Paru-Paru, Apa Maksudnya?

        Di Indonesia sendiri, penggunaan obat kanker sejatinya harus melalui persetujuan BPOM. Bahkan, setiap obat yang hendak diadopsi dari negara pengembang, seperti Amerika Serikat, harus diteliti lebih lanjut efek samping dan khasiatnya, sebelum diedarkan di pasaran.

        Ketua Formularium Nasional, Prof dr Iwan Dwi Prahasto, M Med, SC, PhD, mengatakan, hingga saat ini jumlah obat yang pasti untuk pasien kanker belum diketahui pasti. Namun dalam lima tahun terakhir, sekira 180 obat baru yang di-approve oleh BPOM.

        "Obat itu sudah melalui uji klinis yang layak dan terbukti aman," tutur Prof Iwan, saat ditemui di RS Dharmais, Jakarta Barat, Kamis (6/2/2020).

        Sementara itu, menilik proses uji klinik yang dilakukan oleh Food and Drug Administration (FDA) dan disetujui oleh BPOM, sekira 23-34 obat kanker masuk ke Indonesia, dalam kurun waktu satu tahun.

        Lebih lanjut, Prof Iwan menjelaskan, ada beberapa obat yang belum disetujui BPOM. Karena terdapat perbedaan mekanisme uji klinis antara Indonesia dengan Amerika Serikat.

        Contohnya, di Amerika Serikat, sejumlah obat yang belum selesai uji klinis atau baru memasuki fase 2 sudah dapat dipasarkan. Namun hal tersebut bertentangan dengan kebijakan yang dimiliki BPOM.

        "Mereka punya yang namanya?conditional approval. Artinya, apabila nanti (satu tahun) terbukti tidak memberi manfaat, obat yang telah dijual di pasaran bisa langsung dicabut. Di Indonesia itu tidak mungkin. Kalau sudah ada di pasaran terus dicabut, bisa bikin gaduh dan lain sebagainya," tegas Prof Iwan.

        Sekira 95 persen sampai 97 persen, pasien uji klinis yang pakai obat kanker di Amerika Serikat adalah caucasian (Amerika dan Eropa). Jadi ketika digunakan di Indonesia, obat itu cenderung tidak cocok.

        Hal ini bisa dipicu oleh sejumlah faktor seperti dosis, hingga karakter kanker yang diidap oleh sang pasien. Sementara di Indonesia banyak kanker yang sudah?advance, lalu disertai komplikasi atau penyakit lain.

        "Misalnya diabetes miletus, gangguan liver, gangguan fungsi ginjal, dan sebagainya. Sehingga obat itu tidak selalu?applicable," terang Prof Iwan.

        Pasien juga harus hati-hati, karena ada obat yang efek sampingnya justru menimbulkan kanker lain. Makan pasien tidak perlu tergesa-gesa mengadopsi obat baru, karena belum tentu obat itu?maturestudinya.

        "Sehingga bisa saja, ketika digunakan seolah-olah dia bermanfaat, ternyata dia tidak dapat menambah angka?survival rate," tandasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Muhammad Syahrianto

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: