Sejak pertama kali diumumkan di kota Wuhan, China, penyebaran virus corona atau COVID-19 menjadi sebuah fenomena global. Hingga kemarin, virus tersebut tercatat telah menginfeksi sebanyak 88.000 lebih orang di seluruh dunia, termasuk 2 orang WNI asal Depok, Jawa Barat yang kemarin dinyatakan positif terjangkit. Saat ini, lebih dari 3.000 orang meninggal dunia.
Fenomena COVID-19 tentunya sangat berpengaruh terhadap perekonomian China secara khusus dan negara-negara lainnya secara umum. Tak terkecuali Indonesia yang merupakan salah satu negara pengekspor komoditas terbesar ke China.
Baca Juga: 5 Alasan dari Fadli Zon Tolak Omnibus Law Cipta Kerja
Demikian disampaikan oleh ekonom Indonesia, Josua Pardede, Selasa (3/3/2020). Menurutnya, kalau dilihat, dampak dari COVID-19 memang diperkirakan akan cukup signifikan bagi perekonomian China. Saat ini, aktivitas industri manufaktur di China terlihat menurun cukup drastis.
"Hal tersebut tentu saja berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi di China itu sendiri yang pada akhirnya berdampak juga terhadap perlambatan ekonomi global," sebut Josua yang saat ini menjabat sebagai Kepala Ekonom Bank Permata.
Dampak menurunnya aktivitas industri manufaktur China, menurut Josua, tentu saja sangat berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Dari sektor perdagangan, keadaan tersebut tentunya berpotensi terhadap kurangnya permintaan ekspor komoditas Indonesia untuk China. Sekadar catatan, saat ini hampir 17 persen ekspor Indonesia ditujukan ke China.
"Setiap 1% perlambatan ekonomi China berpengaruh terhadap perlambatan ekonomi Indonesia sebesar 0,3 persen,? ujarnya.
Dari sektor pariwisata dan turunannya, seperti hotel dan restoran, wisatawan asing, termasuk wisatawan China, sudah mengalami penurunan. Terlebih lagi setelah Indonesia sudah terjangkit kasus corona. Kemudian, dari sektor investasi, dapat dilihat dari gejolak pasar keuangan yang saat ini cenderung tertahan.
Sama seperti negara-negara lain, saat ini, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan dalam hal mengantisipasi dampak negatif COVID-19 ini. Salah satu kebijakannya adalah memberikan insentif untuk sektor pariwisata. Kemudian, untuk sektor perumahan khususnya untuk masyarakat menengah ke bawah, kebijakannya adalah menurunkan suku bunga sehingga meningkatkan supply untuk perumahan dan lain-lain.
Sementara, Bank Indonesia merespons dengan mengeluarkan berbagai kebijakan yang kesimpulannya adalah menjaga nilai rupiah agar tetap stabil di pasar global. Langkah-langkah antisipasi tersebut diharapkan mampu meminimalisir dampak negatif COVID-19 terhadap perekonomian Indonesia.
"Memang efek dari corona ini belum bisa ditanggulangi, tapi kita berharap agar keadaan ini bisa segera di-recover baik China maupun Indonesia dan negara-negara lain," lanjut Josua.
Menyoal rancangan Omnibus Law pemerintah, Josua berpendapat bahwa langkah tersebut merupakan langkah ideal yang mampu mendongkrak perekonomian Indonesia salah satunya dari segi investasi. Melalui Omnibus Law pemerintah saat ini, segala bentuk peraturan yang menghambat atau mempersulit investasi akan dimudahkan.
"Ini merupakan bentuk respons pemerintah yang kita tahu tahun lalu akibat dampak perang dagang, banyak investasi dari China khususnya sektor industri yang direlokasi ke Vietnam sehingga memang diperlukan langkah-langkah mendongkrak gelora investasi di Indonesia," paparnya.
Salah satu yang menjadi penyebab invetasi berkurang adalah banyaknya aturan tumpang tindih di Indonesia yang membuat investor asing enggan berinvestasi karena merasa sangat tidak efisien dan mempersulit. Jadi, Omnibus Law menurutnya sangat baik karena dari 74 peraturan yang saling tumpang tindih tersebut akan dipangkas menjadi satu payung hukum. Langkah itu tentunya dapat menjadi nilai lebih para investor asing untuk kembali berinvestasi karena selain mempermudah proses juga mengurangi ongkos perizinan.
Jika investasi didorong dan berkembang, dampaknya akan membangun sektor-sektor industri manufaktur kita juga yang katanya berjalan di tempat. Jika industri manufaktur kita tidak diperkuat, Indonesia akan terus bergantung dengan impor.
"Tak hanya industri manufaktur, sektor lainnya juga perlu ditingkatkan produktivitasnya yang hal tersebut dapat dilakukan dengan peningkatan investasi," tutup Josua.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Agus Aryanto
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: